Selasa, 16 Oktober 2018

REVIEW MOVIE


“REVIEW DILAN 1990”
Film yang bagus, dimulai dari cerita yang bagus. Walaupun banyak orang menyukai karakter Dilan yang serba misterius, dan bagaimana Dilan berbicara kepada Milea, namun ada suatu hal yang orang-orang tidak terlalu pikirkan dan mungkin karena memang semakin ke arah modern, kebanyakan orang mungkin lebih tertarik kepada karakter yang kuat, daripada sebuah cerita yang kuat. Ada beberapa hal yang harus di-establish dalam awal cerita suatu film, diantaranya adalah character’s want (apa yang diinginkan karakter), character’s need (apa yang dibutuhkan karakter), dan character’s goal (apa yang ingin dicapai karakter). Iya, semua ini ada jika protagonis dalam film tersebut adalah Dilan, namun pada awal film kita dikenalkan dengan Milea sebagai protagonis, dan Milea sama sekali tidak mempunyai hal-hal yang dia inginkan pada awal film — dia tidak ingin meraih apapun. Sementara jika kita dikenalkan dengan Dilan sebagai protagonis, mungkin akan terlihat dengan jelas apa yang Dilan inginkan, mendapatkan Milea. Walaupun character’s want dari Dilan ada, namun bagi saya apa yang di inginkan Dilan belum cukup kuat untuk membangun konflik pada cerita.
             Menurut saya, konflik dalam cerita Dilan ini kurang — baik kurang banyak, dan kurang kuat. Konflik yang terjadi sejauh pengamatan saya hanya berada di perkelahian antar lelaki dalam merebutkan seorang perempuan, kecemburuan terhadap orang lain, dan beberapa masalah emansipasi perempuan. Hanya poin terakhir yang menarik perhatian saya, karena konflik-konflik sebelumnya bisa lebih jauh lagi dikembangkan, karena konflik-konflik tersebut sangat cepat terselesaikan sepanjang film.
             Walaupun cerita dituturkan agak terburu-buru dan penggunaan voice overyang berlebihan, menurut saya cerita film ini gagal, screenwriternya sepertinya lupa bahwa film adalah medium visual, mengetahui segala sesuatu dari voice over sama saja buang-buang apa yang ada di layar.
            Bahasa lain directing di sini adalah penyutradaraan. Saya tidak melihat ada orang komplain terhadap segi directing, namun menurut saya menonton Dilan sama saja seperti membaca persis dialognya langsung, tanpa arahan apapun agar tiap-tiap pemain dapat “masuk” ke karakternya masing-masing. Terbukti, ada beberapa pemain yang terlihat kaku saat memerankan karakternya, bahkan ada beberapa yang terlihat dipaksakan. Saya tidak dapat berkomentar lebih jauh tentang directing sendiri, karena saya belum sepenuhnya mendalami hal ini.
            Sinematografi merupakan bagaimana kita menata apa yang ada dalam frame atas suruhan sutradara, dan menyusun Mise en Scene (the look of) sebuah film. Film ini adalah salah satu contoh sinematografi yang sangat buruk, kebanyakan shot tidak menunjukan makna figuratif apapun, banyak sekali shot yang dapat saya bilang ngasal — karena banyak shot seperti tidak direncanakan pada awalnya atau tidak ada komunikasi yang baik dengan sang production designer. Contohnya ada shot yang menyerupai sebuah sho tpada American Beauty, menurut saya ada beberapa shot yang digunakan pada waktu yang salah, karena simbolisme shot tersebut membuat makna yang berbeda jauh dari apa yang ingin disampaikan oleh penulis. Resikonya, film ini menjadi somewhat misleading karena sinematografinya.
Sinematografer juga harusnya berkomunikasi dengan production designerdalam membangun color palette yang pas untuk scene-scene tertentu untuk membangun mood dan tensi dalam film. Film ini dibuat sangat amat biru pada editing (dengan menurunkan temperatur), warna biru dalam sebuah hubungan mengartikan bahwa hubungan tersebut sedang dingin — berarti ada yang salah dengan hubungan tersebut dan tidak adanya keceriaraan. Namun pada film tersebut terjadi sebaliknya.
Pencahayaan amat sangat tidak diperhatikan. Banyak sinematografer yang saya kenal mengkritik: “lighting aster” (asal terang). Duh, saya sudah malas membahas sinematografi yang cukup buruk ini. Hal yang cukup mengganggu saya adalah ketidak rapihan green screen pada saat Milea berbicara dengan Bunda di mobil. Pencahayaan dalam mobil dengan pencahayaan luar mobil berbeda sangat jauh, dan masih terlihat banyak artifacts berwarna hijau hasil green screen.
Akhirnya, saya sangat mengapresiasikan sound. Dari segi foleyambience, sampai volume dialog yang menurut saya pas, tidak terlalu kecil dan tidak terlalu besar, walaupun kadang suaranya terdengar seperti mono (hanya memiliki 1 speaker di tengah daripada stereo yang mempunyai 2 speaker di kanan dan kiri, ataupun Dolby Surround 7.1 yang terpasang yang mempunyai 7 speaker dan 1 subwoofer. Rapih, tertata, cukup membangun mood yang gagal dibangun secara visual.
Saya hanya dapat menyampaikan sedikit kritik: detail pada rumah (tingkat kemewahan rumah di Bandung tahun 1990), color palette untuk luar ruangan dan detail pada tiap lokasi di perhatikan lagi untuk film kedepannya. Saya mengerti bahwa production design film ini memiliki kesusahan untuk adegan exterior Bandung, yang sekarang sudah berubah total dari tampak tahun 1990-an. Namun, saya mengapresiasi usaha untuk me-recreate hal-hal yang telah hilang dari tahun 1990-an, seperti buku Olga dan materai. Detail harus selalu diperhatikan.

Kesimpulan
Sepertinya saya melihat film ini buruk sekali, namun yang membuat saya senang terhadap film ini ada pada makna yang di tuangkan oleh penulis sendiri. Ada beberapa makna tentang emansipasi perempuan, saling menghormati, dan beberapa hal lain yang saya sudah lupa karena sudah 24 jam berlalu. Saya mengerti kenapa ada sedikit penggunaan bahasa Sunda, yang membuat kesan Bandung hilang, namun positifnya semua rakyat Indonesia bisa menikmatinya dan tidak perlu susah payah buka kamus bahasa Sunda sambil menonton.
Dengan penuh rasa hormat dan permohonan maaf, bukan saya menjelek-jelekan film Dilan, namun ini hasil pandangan saya. Ingat, review adalah kritik, dan kritik selalu subjektif. Bisa saja saya ini salah, kan? Dilan 1990 mendapat skor 4/10.
Mohon maaf jika ada yang tersinggung ataupun ada perkataan saya yang salah, terima kasih telah membaca sampai sini. Salam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar