“REVIEW DILAN 1990”
Film yang bagus, dimulai dari cerita yang bagus.
Walaupun banyak orang menyukai karakter Dilan yang serba misterius, dan
bagaimana Dilan berbicara kepada Milea, namun ada suatu hal yang orang-orang
tidak terlalu pikirkan dan mungkin karena memang semakin ke arah modern,
kebanyakan orang mungkin lebih tertarik kepada karakter yang kuat, daripada
sebuah cerita yang kuat. Ada beberapa hal yang harus di-establish dalam
awal cerita suatu film, diantaranya adalah character’s
want (apa yang diinginkan karakter), character’s
need (apa yang dibutuhkan karakter), dan character’s
goal (apa yang ingin dicapai karakter). Iya, semua ini ada jika
protagonis dalam film tersebut adalah Dilan, namun pada awal film kita
dikenalkan dengan Milea sebagai protagonis, dan Milea sama sekali tidak
mempunyai hal-hal yang dia inginkan pada awal film — dia tidak ingin meraih
apapun. Sementara jika kita dikenalkan dengan Dilan sebagai protagonis, mungkin
akan terlihat dengan jelas apa yang Dilan inginkan, mendapatkan Milea. Walaupun character’s want dari
Dilan ada, namun bagi saya apa yang di inginkan Dilan belum cukup kuat untuk
membangun konflik pada cerita.
Menurut
saya, konflik dalam cerita Dilan ini kurang — baik kurang banyak, dan kurang
kuat. Konflik yang terjadi sejauh pengamatan saya hanya berada di perkelahian
antar lelaki dalam merebutkan seorang perempuan, kecemburuan terhadap orang
lain, dan beberapa masalah emansipasi perempuan. Hanya poin terakhir yang
menarik perhatian saya, karena konflik-konflik sebelumnya bisa lebih jauh lagi
dikembangkan, karena konflik-konflik tersebut sangat cepat terselesaikan
sepanjang film.
Walaupun
cerita dituturkan agak terburu-buru dan penggunaan voice overyang berlebihan, menurut saya cerita film ini gagal, screenwriternya sepertinya lupa bahwa film adalah medium visual, mengetahui segala sesuatu dari voice over sama saja buang-buang apa yang ada di layar.
Bahasa lain directing di sini adalah penyutradaraan. Saya tidak melihat ada
orang komplain terhadap segi directing, namun menurut saya menonton Dilan sama saja seperti membaca
persis dialognya langsung, tanpa arahan apapun agar tiap-tiap pemain dapat
“masuk” ke karakternya masing-masing. Terbukti, ada beberapa pemain yang
terlihat kaku saat memerankan karakternya, bahkan ada beberapa yang terlihat
dipaksakan. Saya tidak dapat berkomentar lebih jauh tentang directing sendiri, karena saya belum sepenuhnya mendalami
hal ini.
Sinematografi
merupakan bagaimana kita menata apa yang ada dalam frame atas
suruhan sutradara, dan menyusun Mise
en Scene (the look
of) sebuah film. Film ini adalah salah satu contoh sinematografi yang
sangat buruk, kebanyakan shot tidak
menunjukan makna figuratif apapun, banyak sekali shot yang
dapat saya bilang ngasal — karena
banyak shot seperti
tidak direncanakan pada awalnya atau tidak ada komunikasi yang baik dengan sang production designer. Contohnya ada shot yang menyerupai sebuah sho tpada American Beauty, menurut saya ada
beberapa shot yang
digunakan pada waktu yang salah, karena simbolisme shot tersebut
membuat makna yang berbeda jauh dari apa yang ingin disampaikan oleh penulis.
Resikonya, film ini menjadi somewhat
misleading karena sinematografinya.
Sinematografer
juga harusnya berkomunikasi dengan production designerdalam
membangun color palette yang pas untuk scene-scene tertentu
untuk membangun mood dan tensi dalam film.
Film ini dibuat sangat amat biru pada editing (dengan menurunkan temperatur),
warna biru dalam sebuah hubungan mengartikan bahwa hubungan tersebut sedang
dingin — berarti ada yang salah dengan hubungan tersebut dan tidak adanya
keceriaraan. Namun pada film tersebut terjadi sebaliknya.
Pencahayaan
amat sangat tidak diperhatikan. Banyak sinematografer yang saya kenal
mengkritik: “lighting aster” (asal terang). Duh, saya sudah
malas membahas sinematografi yang cukup buruk ini. Hal yang cukup mengganggu
saya adalah ketidak rapihan green screen pada saat Milea
berbicara dengan Bunda di mobil. Pencahayaan dalam mobil dengan pencahayaan
luar mobil berbeda sangat jauh, dan masih terlihat banyak artifacts berwarna
hijau hasil green screen.
Akhirnya, saya
sangat mengapresiasikan sound. Dari segi foley, ambience,
sampai volume dialog yang menurut saya pas, tidak terlalu
kecil dan tidak terlalu besar, walaupun kadang suaranya terdengar seperti mono (hanya
memiliki 1 speaker di tengah daripada stereo yang mempunyai
2 speaker di kanan dan kiri, ataupun Dolby Surround 7.1
yang terpasang yang mempunyai 7 speaker dan 1 subwoofer.
Rapih, tertata, cukup membangun mood yang gagal dibangun
secara visual.
Saya hanya
dapat menyampaikan sedikit kritik: detail pada rumah (tingkat kemewahan rumah
di Bandung tahun 1990), color palette untuk luar ruangan dan
detail pada tiap lokasi di perhatikan lagi untuk film kedepannya. Saya mengerti
bahwa production design film ini memiliki kesusahan untuk
adegan exterior Bandung, yang sekarang sudah berubah total
dari tampak tahun 1990-an. Namun, saya mengapresiasi usaha untuk me-recreate hal-hal
yang telah hilang dari tahun 1990-an, seperti buku Olga dan materai. Detail
harus selalu diperhatikan.
Kesimpulan
Sepertinya saya melihat film ini buruk
sekali, namun yang membuat saya senang terhadap film ini ada pada makna yang di
tuangkan oleh penulis sendiri. Ada beberapa makna tentang emansipasi perempuan,
saling menghormati, dan beberapa hal lain yang saya sudah lupa karena sudah 24
jam berlalu. Saya mengerti kenapa ada sedikit penggunaan bahasa Sunda, yang
membuat kesan Bandung hilang, namun positifnya semua rakyat Indonesia bisa
menikmatinya dan tidak perlu susah payah buka kamus bahasa Sunda sambil
menonton.
Dengan penuh rasa hormat dan
permohonan maaf, bukan saya menjelek-jelekan film Dilan, namun ini hasil
pandangan saya. Ingat, review adalah kritik, dan kritik selalu
subjektif. Bisa saja saya ini salah, kan? Dilan 1990 mendapat
skor 4/10.
Mohon maaf jika ada yang tersinggung
ataupun ada perkataan saya yang salah, terima kasih telah membaca sampai sini.
Salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar