Senin, 17 Juni 2019
kebijakan utang luar negeri guna mempercepat pertumbuhan perekonomian
Sejak krisis ULN dunia pada awal 1980-an, masalah ULN yang di alami banyak NB tidak semakin baik. Banyak NB semakin terjerumus ke dalam krisis ULN sampai negara-negara pengutang besar terpaksa melakukan progam-progam penyesuain strukturakl terhadap ekonomi mereka atas desakan dari Bank dunia dan moneter internasional(IMF), sebagai syarat utama untuk mendapatkan pinjaman baru atau pengurangan terhadap pinjaman lama(Tambunan, 2001)..
Tingginya Uln dari banyak NB disebabkan terutama oleh 3 jenis defisit yaitu :
1.Defisit transaksi berjalan atau TB atau disebut juga dengan trade gap yaitu ekspor lebih sedikit dari pada impor
2.Defisit investasi atau IS gap yakni dana yang dibutuhkan untuk membiayai investasi disalam negeri lebih besar dari pada tabunghan nasional atau domestik dan
3.Defisit fiskal
Dari faktor-faktor tersebut, defisit TB sering disebut didalam literatur sebagai penyebab utama membengkaknya ULN dari banyak NB. Besarnya defisit TB melebihi surplus neraca modal(CA) (kalau saldonya memang positif) mengakibatkan defisit neraca pembayaran (BOP) yang berarti juga cadangan devisa(CD) berkurang. Apabi8la saldo TB setiap tahun negatif, maka CD dengan sendirinya akan habis kjika tidak ada sumber-sumber lain(misalnya modal investasi dari luar negeri).
Dari uraian diatas, dapat dimengerti bahwa defisit TB yang terjadi terus menerus membuat banyak NB harus tetap bergantung pada pinjaman luar negeri (PLN), terutama negara-negara yang kondisi ekonominya tidak menggairahkan investor-investor asing sehingga sulit bagi negara tersebut untuk mensubstitusikan PLN dengan investasi misalnya dalam bentuk penanaman modal asing (PMA).
Sejak pemerintrahan Orde Baru hingga saat ini tingkat ketergantungan Indonesia pada ULN tidak pernah menyurut, bahkan mengalami akselerasi yang pesat sejakl krisis ekonomi1997-1998 karena periode tersebut pemerintah Indonesia terpaksa membuat utang baru dalam jumlah yang besar dari IMF untuk membiayai pemulihan ekonomi. pda masa normal pada maasa pemerintahan Soeharto, ULN dibutuhkan terutama untuk membiayai defisit investasi, defisit investasi, defisit TB, dan beberapa komponen dari sisi pengeluaran pemerintah didalam Anggran Pendapatan dan Belanja Negara(APBN).
a.Kebijakan pinjaman luar negeri pemerintah
Besarnya akumulasi ULN, khususnya dari pemerintah, dan terutama sangat terasa setelah krisis ekonomi 1997/1998, memaksa pemerintah Indonesia mengatur secara khusus atau mengubah paradigma soal penanganan PLN di dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999-2004. Sejak itu, kebijakan fiskal yang menjadi andalan bagi penerimaan pemerintah ditekankan untuk mengurangi ketergantungan pemerintah terhadap ULN. Selain GBHN 1999-2004, amanat pengurangan ketergantungan pemerintah (atau APBN) terhadap ULN juga diliuangkan dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2000-2004 (Undang undang No.25 tahun 2000) mengenai program atai pedoman secara rinci pengelolaan utang pemerintah. Program ini untuk mewujudkan kemandirian pembiayaan pembangunan. Adapun sasaranya adalah tercapainya penggunaan pinjaman pemerintah, baik dalam negeri maupun luar negeri, beban ULN.
Kegiatan pokok yang dilakukan :
Mengurangi secara bertahap pembiayaan pembangunan dalam memakai ULN, yang merupakan selilsih antara pencairan pinjaman baru dan pembayaran pokok utang. Sejalan dengan peningkatn penerimaan dalam negeri,tingkat ULN diupayakan menurun setiap tahunnya.
Membenahi mekanisme dan prosedur pelaksanaan PLN, termasuk perencanaan, proses seleksi, pemanfaatan dan pengawasannya. ULN pemerintah harus dikelola secara transparan dan selalu dikonsultasikan dengan DPR dan diatur dengan Undang-Undang. Dalam kaitan itu perlu disusun peraturan-peraturan perundang-undangan yang melandasi dan memayungi berbagai PLN, khususnya yang terkait dengan pinjaman pemerintah, langsung ataupun memalalui jaminan, baik pemerintah pusat maupun daerah;
Memanfaatkan pinjaman secara optimal sesuai dengan prioritas pembangunan dan dilaksanakan secara transparan, efektif, dan efisien;
Mengkaji secara menyeluruh kemampuan secara proyek dan mempertajam prioritas pengeluaran anggaran denagn memperkuat pengawasan yang sistemik, utamanya bagi proyek-proyek yang dibiayai dari ULN.
Meningkatkan kemampuan diplomasi dan negoisasi PLN untuk memperoleh jangka waktu dan pola persyaratan yang memudahkan proses pencairan dan memperinagn beban pembayaran;
Memalakukan restrukturisasi ULN, termasuk permohonan pemotongan utang dan penjadwalan kembali ULN dengan para donor secara transparan dan dikonsultasikan denagn DPR.
Di dalam Undang-undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2003 tentang pengendalian jumlah komulatif defisit APBN dan APBD (anggarn pendapatan dan belanja daerah) serta jumlah komulatif pinjaman pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga diatur bahwa defisit anggaran juga dibatasi maksimal 3 persen dari PDB dan pinjaman (jumlah koulstif pinjaman pemerintah pusat dan pemerintah daerah) dibatasi paling besar 60% dari PDB.
Selain itu, BAPPENAS juga membuat empat strategi pengelolaan ULN untuk mengantisipasi masalah liquiditas dan solvabilitas guna mencapai kesinambunagn fiskal dan perekonomian yang terkait denagn ULN. Keempat strategi tersebut adalah: (1) percepatan pencapaian batas aman ULN, (2) penetapan prioritas penggunaan ULN, (3) pembentukan lembaga pengelolaan utang(DMO) dan (4) pembentukan perangkat peaturan bagi kebijakan pengeloalaan ULN. Indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur solvabilitas adalah rasio cicilan pokok plus bunga terhadap ekspror (DSR). Untuk mencapai batas aman. Kebijakan pinjaman luar negeri pemerintah
Besarnya akumulasi ULN, khususnya dari pemerintah, dan terutama sangat terasa setelah krisis ekonomi 1997/1998, memaksa pemerintah Indonesia mengatur secara khusus atau mengubah paradigma soal penanganan PLN di dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999-2004. Sejak itu, kebijakan fiskal yang menjadi andalan bagi penerimaan pemerintah ditekankan untuk mengurangi ketergantungan pemerintah terhadap ULN. Selain GBHN 1999-2004, amanat pengurangan ketergantungan pemerintah (atau APBN) terhadap ULN juga diliuangkan dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2000-2004 (Undang undang No.25 tahun 2000) mengenai program atai pedoman secara rinci pengelolaan utang pemerintah. Program ini untuk mewujudkan kemandirian pembiayaan pembangunan. Adapun sasaranya adalah tercapainya penggunaan pinjaman pemerintah, baik dalam negeri maupun luar negeri, beban ULN.
b. Biaya ULN
Masalah ULN yang dialami oleh banyak NB, termasuk Indonesia, yang sering diperdebatkan oleh masyarakat dan pemerintah sebenarnya bukan persoalan jumlah atau tingkat ketergantungan ULN, melainkan beban atau biaya yang harus dibayar ULN tersebut. Andaikan tidak perlu membayar bunga pinjaman atau bunganya sangat rendah dan waktu pengembaliannya panjang, mungkin ULN tidak pernah akan dipersoalkan sebagai masalah serius,. Pembayaran bunga ULN selama ini memang menjadi penyebab utama besarmya biaya yang harus ditanggung oleh negara-negara peminjam. Biaya ini semakin besar saat penghasilan devisa (dari ekspor atau arus masuk investasi asing) dari negara tersebut semakin kecil.
Biaya PLN/ULN bisa di ukur secara langsung dan tidak langsung. Pendekatan secara langsung dilakukan dengan cara membandingkan antara jumlah ULN dari suatu negara dengan kekayaan atau liquiditas negara tersebut. Jadi, misalnya ULN dibandingkan dengan jumlah cadangan internasional (CI) atau dengan cadangan devisa (CD). Cadangan internasional disini (CI) terdiri dari emas (penilaian nasional), CD, posisi cadangaghn Indonesia di IMF, dan Special Drawing Rights (SDRs). Dapat dilihat bahwa perkembangan kedua rasio tersebut selama periode 1981-2005 menunjukkan tren-tren yang menurun.
Sementara itu, pendekatan langsung adalah menganalisis biaya dalam nilai moneter (rupiah) yang sebenarnya harus ditanggung, yang dapat dikelompokkan kedalam dua kategori, yakni: (1) biaya pinjaman itu sendiri dan (2) biaya yang muncul akibat penyelewengan penggunaan ULN atau biaya yang muncul dari pelaksanaan proyek PLN. Jadi, kategori kedua ini termasuk biaya korupsi yang muncul akibat terjadimya penyelewengan dalam pengunaan ULN, atau dana ULN yang di korup, dan biaya akibat penyerapan ULN yang rendah.
c. Manfaat dan dampak ULN
Kasus Indonesia
Dalam jangka pendek, utang luar negeri sangat membantu pemerintah Indonesia dalam upaya menutup defisit anggaran pendapatan dan belanja negara, akibat pembiayaan pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan yang cukup besar. Dengan demikian, laju pertumbuhan ekonomi dapat dipacu sesuai dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya.
Tetapi dalam jangka panjang, ternyata utang luar negeri pemerintah tersebut dapat menimbulkan berbagai persoalan ekonomi di Indonesia. Pada masa krisis ekonomi, utang luar negeri Indonesia, termasuk utang luar negeri pemerintah, telah meningkat drastis dalam hitungan rupiah. Sehingga, menyebabkan pemerintah Indonesia harus menambah utang luar negeri yang baru untuk membayar utang luar negeri yang lama yang telah jatuh tempo. Akumulasi utang luar negeri dan bunganya tersebut akan dibayar melalui APBN RI dengan cara mencicilnya pada tiap tahun anggaran. Hal ini menyebabkan berkurangnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat pada masa mendatang, sehingga jelas akan membebani masyarakat, khususnya para wajib pajak di Indonesia..
Terakhir, Sugema dan Chowdury (2005) mengkaji dampak arus ULN terhadap pengeluaran pemerintah. Untuk ini mereka memakai analisis fungsi dorongan melakukan respons (IR), dan ULN diklisifikasikan kedalam dua kategori: pinjaman proyek dan pinjaman program. Setiap kategori akan mempunyai dampak yang berbeda terhadap tipe yang berbeda dari pengeluaran pemerintah. Pinjaman proyek biasanya diarahkan untuk membiayai pengeluaran pembangunan, misalnya pembangunan infrastruktur. Oleh karena itu, dapat diharapkan bahwa suatu kenaikan dalam pencarian pinjaman proyek akan cenderung membuat tingkat yang lebih tinggi dari pengeluaran pembangunan. Dampak pinjaman proyek terhadap pinjaman rutin pemerintah akan sangat tergantung apakah pinjaman itu fungible atau tidak. Pinjaman program, disisi lain biasanya adalah fungible karena digunakan pada saat-saat krisis/kesulitan.
Standart terhadap pinjaman program akan menyebabkan pengeluaran rutin meningkat dan pengeluaran pembangunan menurun, menurut Sugema dan Cowdhury (2005), dalam masa- masa sulit, dapat dipahami bahwa tujuan mendapatkan pinjaman program adalah sebagai penyangga untuk mepertahankan tingkat minimum pengeluaran rutin, terutama pos-pos yang jumlahnya besar dan tidak bisa dihindari seperti gaji dan upah. Pada masa-masa kesulitan ekonomi, pendapatan fiskal bisanya menurun dan oleh karena ketergantungan pada dana pinjaman meningkat. Sementara itu, interpretasi dari respons pengeluaran pembangunan memerlukan tanggapan kritis. Penurunan itu bisa terjadi karena adanya pinjamn program, tetapi itu merupakan penyesuaian yang harus dilakukan dalam situasi krisis ketika pinjaman program datang. Jadi hasil simulasi ini menandakan adanya korelasi negatif antara pinjamn program dan pengeluaran pembangunan. Ini juga memberi kesan bahwa Indonesia tidak mempunyai mekanisme internal pasa sisi fiskal untuk mengahadapi kemorosotan ekonomi. Dari hasil simulasi mereka yang diperhatikan diatas tersebut, Sugema dan Cowdhury (2005) menyimpulkan bahwa tidak adanya hubungan positif antara ULNp dan pertumbuhan ekonomi disebabkan pinjaman tersebut pada akhirnya lebih banyak dipakai untuk membiayai pengeluaran rutin. Ini bisa mempersulit pemerintah dalam membayar kembali utangnya termasuk bunga pinjaman tersebut tidak membuat pemasukan bagi pemerintah.
d. Upaya Mengurangi Beban ULN Pemerintah
Sasaran pokok kebijakan fiskal setelah krisis ekonomi adalah mengurangi ketergantungan pemerintah pada ULN atau menurunkan rasio utang terhadap PDB. Tahun 2000, rasio ULN terhadap PDB Mendekati 100 persen, tahun 2004 menjadi 55,99persen, tahun 2005 turun menjadi 47,05 persen, dan lagi menjadi 37,5 persen tahun 2006. Bahkan pemerintah berusaha menjadikan rasio utang maksimum 35 persen.
Sudah cukup banyak simulasi ekonometri yang menunjuikkan bahwa pengurangan /pengampunan utang di negara-negara dengan jumlah ULN yang sangat besar memberi dampak positif bagi ekonomi mereka. Misalnya, Iyoha, (1999) dengan memakai ekonomi makro dengan data dari negara-negara Afrika sub-sahara untuk periode 1970-1994 melakukan simulasi kebijakan untuk meneliti dampak skenario dari alternatif pengangguran stok utang (paket penggangguran utang sebesar 5, 10, 20 dan 50 persen) yang dilakukan pada tahun 1986 terhadap investasi dan pertumbuhan ekonomi dalam tahun-tahu berikutnya. Hasilnya menunjukkan bahwa pengangguran stok ULN akan mempunyai efek 20 persen, rata-rata, akan menaikkan investasi sebesar 18 persen dan kenaikan PDB 1 persen untuk periode 1987-1994. Jadi, hasil ini mendemonstrasikan bahwa penghapusan ULN bisa memberikan stimulus yang dibutuhkan untuk pemulihan investasi dan pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut yang memang sangat dibutuhkan.
Upaya mengurangi beban ULN bisa dilakukan denagan empat cara : (1) pengurangan/peemotongan, penundaan, penjadwalan ulang pembayaran cicilan pokok, dan bunga utang (2) konversi utang (3) melunasi lebih awal utang jangka pendek, dan atau (4) meminta penghapusan utang yang masih ada. 1 s.d 3 merupakan strategi jangaka pendek, sementara cara (4) adalah mengurangi ketergantungan pada ULN atau mengurangi perbutan utang baru. Ini merupakan strategi jangka panjang, karena mengurangi ketergantungan pada ULN memerlukan waktu yang tidak pendek. Hal ini disebaabkan mencari sumber-sumber alternatif bukan hal mudah.
Permintaan keringanan pembayaran ULNp dari sumber resmi dailakukan melalui paris club. Menurut kebiayaan atau konvensi umum yang berlalu, ada berbagai persyratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh pemerintah debitur untuk bisa mengajukan permohonan keringanan pembayaran ULN melalui Paris Club. Pertama, mengikuti program IMF. Melalui program ini, negara-negara kreditur dapat memahami alasan permohonan tersebut dan bisa memantau bukan saja penggunaan PLN baru, tetapi juga kemampuan negara debitur juntuk membayar kembali ULN mereka. Kedua, status pinjaman yang didapt oleh negara yang bersangkutan dari Bank Dunia. Dalam persyratan ini, keringanan hanya diberikan kepada negara yang bisa menunjukkan perlunya keringanan tersebut dan negara yang selama itu hanya mampu meminjam dari IDA (International Devolepment Assocition) (Nasution, 2004).
Pemerintah Indonesia sudah melakukan permohonan keringanan melalui Paris Club sebanyak tiga kali berturut-turut selama periode Agustus 1998 hingga Desember 2003. Pertama (PC-I), September 1998 penjadwalan ulang publik 4,5 miliar dolar AS yang jatu tempo antara Agustus 1998 dan maret 2000. Pinjaman ODA (3 miliar dolar AS) dijadwal ulang hingga 20 tahun yang ksenjangan waktu 5 tahun. Untuk pinjamann non ODA (1,5 miliar dolar AS), penjadwalan ulang hingga 11 tahun dengan kesenjangan waktu 3 tahun. Penjadwalan ulang yang lebih besar diberikan melaluli PC-II, April 2000, sebesar 5,8 miliar sementara itu, melalui PC-III sebesar 5,4 miliar dolar AS (pokok dan bunga) untuk periode antara April 2002 dan Desember 2003.
Pada tahun 2005, seperti yang diberitakan di kompas (finansial, kamis, 10 Maret 2005), pemerintah Indonesia berharap mendapatkan moratium atau penundaan pembayaran utang minimal sekitar Rp 3,4 triliun dari Paris Club. Moraorium utang itu akan mengurangi defisit dalam proyeksi perubahan APBN (APBN-P) 2005, dari Rp 32,6 triliun atau sekitar 1,3 persen dari PDB menjadi Rp 28,0 triliun atau 1,07 persen dari PDB. Selanjutnya, tebitan kompas berikutnyya (sabtu, 12 maret 2005, halamn 13) memberitakan bahwa negara-negara kreditor ysng tergabung dalam Paris Club memberikan maratorium utang pada tahun yang sama pada negara Indonesia senilai 2,6 miliar dolar AS dengan alasan Indonesia sedang membutuhkan dana yang besar akibat bencana tsunami. Negara-negara kreditor sepakat tidak mengharapkan pembayaran dari negara-negara korban tsunami (Indonesia, Thailand, Maladewa, Sri Langka, India, Somalia) selama Bank Dunia dan IMF melakukan penilaian atas keperluan atas pembiayaan korban tsunami. Paris Club juga sepakat pada waktu itu bahwa bunga utang yang tidak dibayar selama tahun 2005 tersebut akan direkap dan ditambah menjadi utang pokok. Pembayarannya dilakukan dalam waktu 5 tahun dengan masa tenggang 1 tahun. Artinya, maratorium bunga dan utang tahun iutu baru dibayar pada tahun 2007.
Akan tetapi, berita-berita di kompas pada tahun 2005 juga menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia, disisi lain, kelihatan lebih berhati-hati dalam menerima tawaranatau meminta keringanan pada Paris Club. Wibowo (2005) temasuk dari kalangan yang mengkritik sikap pemerintah itu. Ia mengatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak serius menggunakan kesempatan yang ada , padahal pada tahun itu Indonesia mempunyai peluang untuk mendapatkan maratoriumn utang senilai milnimal Rp 20-25 triliun, tanpa keharusan menerapkan program IMF pemerintah Indonesia memegang selalu mengkaji sulu setiap ada tawaran atau kesempatan mendapatkan maratorium, apakah fasilitas itu terkait dengan persyratan tertentu, terutama keharusan ikut dalam program IMF dan mengenai asas perlakuan yang sama terhadap kreditor . sebenarnya pemerintah khawatir apabila kedua persyratan tersebut diberlakukan, maka itu dapat menurunkan peringkat Indonesia dipasar modal internasional. Khususnya persyartan asas perlakukan yang sama terhadap kreditor akan membuat sektor swasta kesulitan dalam mencari pendanaan di Psar modal internasional, karena persyratan tersebut terkait dengan penundaaan pembayaran utang kepada bank-bank asing, atau dalam kata lain, bank-bank asing juga dipersyratkan untuk ikut memberikan maratorium utang kepada Indonesia.
Sejauh ini konversi ULNp Indonesia baru dilakukan oleh pemerintah Jerman, salah satu anggota Paris Club, menurut Hadar(2006b) secara nominal mencapai 96 jutaeuro(RP 1,033 triliun), atau menurut berita di kompas (jumat, 4 Agustus, halaman 21 ) sebanyak 93,57 juta euro (Rp 1,09 triliun). Nilai ini jauh lebih kecil dibandingkan ULNp yang berjumlah 1,1, miliar euro. Namun, sekecil apapun penghapusan utang perlu di apresiasi sambil mengupayakan duplikasi dan multiplikasi (Hadar, 2006b, hal.6 ).
Upaya penurunan beban atau stok ULNp memang hal positif karena dengan sendirinya akan mengurangi tekanan terhadap APBN. Hasil penelitian dari Chowdhury dan Sugema (2003) menunjukkan bahwa penjadwalan ulang melalui PC-I hingga PC-IIImewakili sekitar 65 persen dan 54 persen dari pengeluaran pembangunan, masing-masing, tahun 2001 dan 2002. Dengan membiayai pengeluaran pembangunan, hasil study mereka itu menunjukkan bahwa pengeluaran pembangunan selama 2000-2002 akan naik mendekati 4 persen dari PDB ini sekitar dua kali lipat jumlah tanpa PC-I s,d PC-III tersebut.
Namun demikian, juga perlu dilihat dengan cara apa upaya tersebut dilakukan. Dalam kata lain, upaya seperti itu bukan tanpa biaya. Goldstein (2003)(dikutup dari Buchori, 2006) berdasarkan hasil penelitiannnya mrengenai ULNp Brazil mengtakan bahwa biaya yang harus dikeluarkan dari penlunasan ULN biasanya dalam bentuk perubahan kebijakan untuk menjamin kesanggupan negara tersebut membayar utangnya tepat waktu tanpa berdampak negastif terhadap pertumbuhan ekonominya. Misalnya menaikkan suku bunga agar tabungan meningkat (didorong dengan arus modal asing) dan kebijakan fiskal dan sifatnya kontraksi, sering disebut kebijakn fiskal yang ketat (yakni menaikkan pajak/ mengurangi pengeluaran). Yang sering tejadi akhirnya kebijakan seperti itu berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemiskinan terutama juga karena banyak program atau proyek yang bermanfaat bagi kaum miskin ynag bisa mengurangi kemiskinan dihentikan.
Pada pertengahan tahun 2006 terjadi perdebatan cukup sengit tentang pembayaran ULNp kepada IMF. Persoalannya adalah, disatu pihak, Bank Indonesia (BI) ingin melunasi utang kepada lembaga moneter internasional tersebut sesegera mungkin, sementara, di pihak lain, pemerintah tampaknya agak ragu. Menurut Sadewa (2006), alasan BI mempercepat pelunasan utang ke IMF adalah beban bunga semakin berat. Disi lain, pemerintah punya perjanjian dengan Japan Bank for Indonesia Cooperation (JBIC) yang mengharuskan pemerintah membayar lunas utangnya ke Bank Jepang tersebut yang tercatat sebesar 700 juta dolar AS jika utang ke IMF dilunasi. Padahal dana untuk kewajiban kepada JBIC itu tidak di anggarkan dalam APBN 2006. Juga beberapa pejabat pemerintah mengatakan bahwa pelunasan utang kepada IMF dapat memancing para spekulan untuk menarik dana mereka di Indonesia. Jika jumlah dana yang tertarik sangat besar, dikhawatirkan bisa terjadi krisis rupiah yang selanjutnya mengakibatkan krisis ekonomi seperti sebelumnya. Namun demikian, setelah perdebatan yang cukup ramai, Indonesia akhirnya melunasi seluruh utangnya kepada IMF setelah pembayaran tahap kedua sebanyak 3,2 miliar dolar AS pada bulan Oktober 2006. Dengan demikian, berakhir pula post program monitoring yang selama ini dicurigai oleh masyarakat Indonesia sebagai mekanisme intervensiIMF terhadap kebijakan ekonomi Indonesia (Prasetyantoko 2006).
Seperti ysng telah dibahas sebelumnya, fungsi utama dari pinjaman IMF hanya untuk berjaga-jaga dan sebagai alat untuk menjaga atau meningkatkan kepercayaan pasar terhadap rupiah dan sistem keuangan Indonesia, tetapi biaya yang harus di tanggung pemerintah Indonesia tidak kecil. ULNp ke IMF pada akhir 2005 mencapai 7,9 miliar dolar AS. Menurut Ramli (2002), pemerintah Indonesia membayar 2,3 nilai dolar AS ke IMF, yang terdiri dari 1,8 miliar dolar AS dalam pokok utang dan 500 juta dolar AS dalam bunganya. Sementara seperti yang dijelaskan di Sadewa (2006b), total pembayaran ke IMF tahun 2005mencapai hampir 1,46 miliar dolar AS, dan diperkirakan akan naik menjadi 1,6 miliar dolar AS tahun 2006 dan akan terus naik hingga tahun 2008. Dari total pembayaran pada tahun 22006 itu, 323 juta dolar AS (atau sekitar Rp 3,06 triliun dengan asumsi kurs Rp 9.500 per satu dolar AS ) mengikuti jadwal yang ditetukan oleh IMF, utang pemerintah, ke IMF akan lunas pada tahun 2011, total bunga yang harus dibayar Indonesia akan mencapai 1,08 miliar dolar AS (sekitar Rp 10 triliun), atau rata-rata 180 juta dolar (sekitar Rp 1,7 triliun) per tahun. Jumlah tidak ini tidak kecil, hampir sama dengan subsidi pupuk Rp 2,0 triliun yang di anggarkan APBN 2006.
e. Peran World Bank Dan IMF Dalam Akumulasi Utang
Peran Bank Dunia di Indonesia sejalan dengan peralihan kekuasaaan di Indonesia, dari pemerintahan Soekarno kepada Soeharto. Dimulai dengan keinginan untuk melakukan penjadwalan kembali utang-utang luar negeri Indonesia, memperoleh pinjaman baru ekonomi Indonesia yang terpuruk, serta menarik investor asing ke Indonesia, maka dimulailah serangkaian pertemuan ke arah itu, yakni Tokyo Club (Tokyo, September 1966), Paris Meeting (Paris, Desember 1966), diikuti dengan pertemuan Amsterdam bulan Februari 1967, pertemuan terakhir di Belanda itulah yang menghasilkan yang konsorsium negara-negara yang memberikan pinjaman bagi Indonesia yang dikenal dengan IGGI (Inter- Governmental Group on Indonesia). Pinjaman negara-negara itu diberikan kepada Indonesia lewat Bank Dunia. Awalnya, IGGI mencakup 16 negara, diantaranya: Belanda, Jepang (pemberi pinjaman terbesar bagi Indonesia), Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan beberapa negara lainnya. Pada tahun 1992 pemerintah RI membubarkan IGGI dan membentuk CGI (Consultative Group on Indonesia), dengan tujuan mengeluarkan Belanda dari konsorsium, karena dianggap terlalu campur tangan terhadap pembangunan dalam negeri Indonesia.
Peran Bank Dunia sebagai fasilitator negara-negara kreditor dalam memberikan pijaman ke Indonesia memiliki peranan yang sangat penting. Oleh karena itu, perilaku lembaga multilateral ini perlu dilihat lebih dalam lagi. Perilaku Bank Dunia dalam menjalankan misinya dipengaruhi peran gandanya dimana kedua peran itu sesunguhnya saling bertolak belakang (Winters 1996). Pertama, peran Bank Dunia merupakan agen pembangunan bagi negara-negara peminjam. Kedua, peran Bank Dunia sebagai Bank komersil dan profesional atas dana yang diterima dan dana yang salurkan.peran kedua inilah yang lebih berkaitan dengan kelangsungan hidup dari Bank Dunia sendiri, karena dari keuntungan selisih bunga pinjaman dan bunga simpanan Bank Dunia memperoleh penghasilannya yang di gunakan untuk membayar (dengan mahal) para pegawainya dan deviden bagi para negara pemegang saham.
Posisi yang berlawanan dari kedua peran itu adalah bahwa sebagai agen pembangunan, Bank Dunia wajib mengawasi pelaksanaan proyek mulai dari proses identifikasi sampai dengan pelaksanaan akhir proyek tersebut. Denga possisi dan wibawanya, Bank Dunia berhak dan wajib memberhentikan pelaksanaan dan pembiayaan suatuproyek apabila pelaksanaan proyek itu dianggap menyimpang dari ketentuan Bank Dunia sebagai agen pembangunan. Akan tetap, apabila hal itu dilakukan, akan memnimbulkan ketegangan hubungan antara Bank Dunia dengan pemerintah negara yang bersangkutan dan bisa menyebabkan si penguasa enggan meminjam kembalo ke Bank Dunia.
Kecendrungan atas peran sebagai Bank komersial juga tanpakmdari aliran modal yang teru-menerus masuk kepada negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia. Belum selesai berapa proyek berjalan, sudah direncankan lagi pinjaman untuk proyek selanjutnya. Sepertinay Bank Dunia sebagai sumber mata air pinjaman yang tidak pernah kering. Bila pemerintahnya merupalkan rezim yang korup, pinjaman yang terus-menerus itu merupakan sumber korupsi bagi mereka, sedangkan bagi Bank Dunia hal ini berarti keterjaminan bahwa merekan akan memperoleh keuntungan lewat bunga pinjaman sebagai keterjaminan sumber pendapatan mereka.
Bank Dunia sangat memiliki kepentingan tehadap pembangunan Indonesia kerana Indonesia adalah klien yang baik yang selalu membayar pinjaman dan bunganya tepat waktu, sehingga bagi Bank Dunia meminjamkan dana kepada Indonesia merupakan hal yang menguntungkan. Perlu diketahui bahwa kriteria perhitungan kelayakan proyek bagi Bnak dunia adalah Economics Rate of Return (ERR), tanpa memperhitungkan aspek distributf dan proyek tersebut. Dengan kondisi demikian, sulit untuk mengharapkan bahwa Bank dunia akan mengkritik atau menghentikan di tengah jalan proyeknya sendiri dijalankan oleh pemerintah Indonesia, meskipun proyek itu dalam prosesnya menyebabkan kerugian yang harus ditanggung oleh masyarakat banyak, seperti proyek pembangunan Bendungan Kedung Ombo.
Sikap Bank Dunia, seperti digambarakan diatas, pada akhirnya cenderung memberikan korupsi atau kebocoran yang terjadi pada proyek-proyek. Bahkan, Bank Dunia sebelum korupsi banyak dipermasalahkan beranggapan bahwa korupsi bagi minyak pelumas bagi bisnis dan tanpa korupsi tidak akan ada transaksi dan itu berarti tidak ada pertumbuhan. Korupsi adalah minyak pelumas mesin birokrasi jika korupsi dihilangkan, maka birokrasi tidak bekerja. Laporan Bank Dunia sendiri pada bulan Oktober 1997 memperkirakan bahwa sekitar 20 persen sampai 30 persen pinjaman untuk Indonesia telah digelapkan oleh beberapa pejabat dan politisi pemerintah. Keprihatinan terus meluas karena, walaupun era Orde Baru telah berakhir, praktik penggelapan dana ini masih terus berlangsung. Bahkan, menurut laporan terakhir Bank Dunia pada tanggal 17 Desember 1998, sebagian dana gelap itu dicurigai digunakan untuk mempengaruhi jalannya pemilihan umum pertama pada era sesudah kejatuhan Soeharto yang akan dilaksanakan pada bulan juni 1999.
Selain Bank Dunia, lembaga multilateral yang turut sertta mempercepat akumulasi utang Indonesia adalah IMF, terutama dua tahun terakhir setelah krisis ekonomi berlangsung. IMF diundang masuk ke Indonesia dalam upaya membantu kesulitan finansial pemerintah dan juga membantumembuat program pemuliuhan ekonomi. namun demikian, peran IMF dalam mengatasi krisis ekonomi tersebut tidak lepas dari kepentingan IMF sendiri sebgai lembaga multilateral dan kepentingan negara-negara pemegang saham terbesar (negara maju). Tetapi yang salah dalam upaya pemulihan ekonomi mengakibatkan krisis yang semakin dalam dan pada akhirnya memerlukan dana (utang baru) sehingga akumulasi yang bertambah besar.
Akibatnya, pemerintah harus mengeluarkan obligasi untuk merekapitalisasi bank-bank tersebut dan bunganya ditanggung oleh APBN. Hal ini belum lagi ditambah permasalahan pengembalian aset-aset yang dijaminkan atas pemberian BLBI tersebut. Kesalahan lain adalah pengaitan masalah politik dalam pencairan pinjaman. Walaupun pinjaman yang diberikan IMF tidak signifikan mempengaruhi cash flow keuangan pemerintah. Namun, dampak psikologis membuat ketidakpastian semakin tinggi yang pada akhirnya memperlambat pemulihan ekonomi itu sendiri.
Senin, 27 Mei 2019
Perkembangan Industri dan UMKM di Indonesia 2019
Darmin menceritakan, Indonesia sebenarnya sempat merasakan kejayaan dengan perkembangan ekonomi yang cukup cepat di tahun 1970-an. Pembangunan fondasi ini tak lepas dari perkembangan industri yang sangat cepat dan kuat kala itu.
Meski memiliki struktur proteksi yang cukup rumit, Indonesia berhasil membuat sektor industri menjadi sumber besar dalam perkembangan perekonomian. Kenikmatan sektor industri akhirnya mulai goyah saat memasuki tahun 1980-an.
Periambatan ekonomi membuat pemerintah berpikir ulang dan banting setir besar-besaran. Pemerintah kala itu mengubah banyak kebijakan. Hasilnya, perindustrian memang berjalan baik dan perdagangan terus beriangsung, tetapi Indonesia masih saja defisit.
"Tahun 81-82, kita kembali banting setir. Ekonomi kita ditata ulang dari orientasi impor ke orientasi ekspor. Itulah di mana kata-kata paling sering diucap adalah ekspor nonmigas," lanjut Darmin.
Akan tetapi, menurut dia, saat ini semakin minimnya produksi migas danjatuhnya harga komoditas sumber daya alam (SDM) akhirnya membuat sektor industri kembali lebih serius dikembangkan. Pengembalian sektor industri menjadi tulang punggung perekonomian pun akhirnya kembali dirasakan. Bukan hanya produksi yang bisa diekspor, sektor ini pun mampu menyerap tenaga kerja cukup besar.
Karena melalui peningkatkan sektor industri, hal ini bukan hanya bisa menumbuhkan devisa dari produksi yang nantinya menjadi bahan ekspor. Namun, industri juga mampu menyerap angkatan kerja yang cukup melimpah di Indonesia. "Dengan industri padat karya, praduktivitas pun harus ditingkatkan. Produk yang dibuat sekreatif mungkin juga harus terus dikembangkan," kata Darmin.
Menteri Perindustrian Saleh Husin mengungkapkan sasaran pembangunan industri, di antaranya meningkatkan pertumbuhan industri pengolahan nonmigas sebesar 8,4 persen pada 2019. Selain itu juga meningkatkan kontribusi industri pengolahan nonmigas terhadap PDB sebesar 19,4 persen pada 2019. Terakhir, meningkatkan penyerapan tenaga kerja di sektor industri sebesar 17,8 jutaorang pada 2019.
Kebijakan pengembangan industri nasiohal pada peningkatan nilai tambah sumber daya alam pada industri hulu berbasis agro, mineral, serta migas dan batu bara. "Ini harus dilakukan demi penguatan struktur industri melalui pembangunan industri hulu yang diintegrasikan dengan industri antara dan industri hilirnya," kata Menteri Saleh dalam rilis yang diterima Republika.
Sumber daya industri juga didorong demi memenuhi kebutuhan tenaga kerja sektor industri rata-rata 600 ribu orang per tahun, penumbuhan 20 ribu wirausaha baru industri kecil, dan 4.500 usaha baru industri skala menengah dan sertifikasi tenaga kerja serta calon tenaga kerja.
UMKM di Indonesia 2019
Kebutuhan modal yang besar untuk mengembangkan industri hulu dan hilir juga menjadi konsentrasi Kemenperin. Untuk itu, diperlukan penyediaan sumber pembiayaan industri melalui penanaman modal pemerintah dalam pembangunan industri hulu dan industri strategis serta pemberian subsidi bunga pinjaman bagi industri prioritas.
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) melansir sebanyak 3,79 juta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sudah memanfaatkan platform online dalam memasarkan produknya. Jumlah ini berkisar 8 persen dari total pelaku UMKM yang ada di Indonesia, yakni 59,2 juta. Untuk menumbuhkan jumlah pelaku UMKM yang berselancar di dunia maya, Kemenkop UKM dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) bersama dengan para pelaku e-commerce menggagas program bertajuk 8 Juta UMKM Go Online.
Lewat kerja sama ini, pemerintah juga berharap dapat mempercepat transformasi UMKM di Indonesia menuju digital.
Sekretaris kementerian koperasi dan usaha kecil dan menengah (Kemenkop dan UKM), agus Muharram menargetkan wirausaha UKM baru akan tumbuh sekitar 5 persen pada 2019. Ini mengingatkan pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia setiap tahunnya.
"Target kita untuk tahun ini 4% . Akhir 2019, ditargetkan mencapai 5%, "ujar Di Jakarta, Minggu (22/4/2018). Agus mengklaim, dalam tiga tahun pemerintahan JOKOWI-JK,jumlah wirausaha UKM di Indonesia naik dari 1,56 persen pasa 2014,menjadi 3,1% dari jumlah penduduk pada akhir 2016. Untuk itu, pemerintah optimistis pada 2019 bisa mencapai target 5% dari jumlah penduduk.
Upaya mendorong pertumbuhan tersebut, pemerintah telag memfasilitasi pelaku usaha baru maupun UKM yang telah ada untuk semakin mengembangkan usaha dengan menggelar sosialisasi maupun pelatihan di berbagai daerah di Indonesia.
"Di Jakarta,ada pelatihan UKM di Smesco. Pelaku usaha tinggal kirim surat saja dan bebas mengikuti berbagai pelatihan, "dia menambahkan. Untuk di daerah,pelaku usaha juga bisa mendapatkan pelatihan,yang bekerja sama dengan badan Latihan Khusus (BLK) yang ada dikabupaten/kota di seluruh Indonesia.
"Saat ini sudah ada di 22 Provinsi," ujarnya. Adapun pelatihan-pelatihan tersebut, didanai dengan danadekonsentrasi. Dana tersebut berjumlah 100 miliar yang dialokassikan untuk 34 provinsi di Indonesia. "Jadi setiap provinsi dapat dana sekitar 3 miliar,"tandasnya.
Ketua Umum pengurus pusat Gerakan Pemuda (GP) ansor, Yaqut Cholil Qoumas mengungkapkan ada beberapa kendala dalam upaya mendorong jiwa kewirausahaan bagi pemuda melalui Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Terutama di kalangan anggota dan kader anggota GP Ansor.
"ada dua problem mendasar,pilar memandirikan. Pertama problem modal, kedua marketing," kata Yaaut dalam acara Ansor Fair 2018 di Jakarta, Minggu (22/4/2018).
Dia mengatakan,untuk persoalan modal mungkin masih bisa diatasi. Sebab pemerintah melalui perbankan dan kementerian koperasi dapat memberikan akses yang cukup untuk memberikan modal pinjaman. Akan tetapi di sisi marketing masih sangat minim pengetahuan.
http://www.kemenperin.go.id/artikel/14467/Menanti-Kebangkitan-Dunia-Industri-Indonesia
Kamis, 23 Mei 2019
Kondisi Investasi di Indonesia Pasca Pemilu 2019
Kondisi investasi di Indonesia ditandai dengan arah membaiknya perekonomian nasional pascapemilu memang mulai berembus, dimulai dari sukses penyelenggaraan pemilu yang memenuhi ekspektasi pasar. Lalu, diperkuat oleh data neraca perdagangan yang menunjukkan kinerja positif sejak awal bulan. Begitu pun perkembangan kurs rupiah yang telah menguat sekitar 1% antara 1 hingga 23 April lalu. Untuk tahun ini pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,3% dan sekitar 5,3% hingga 5,6% untuk tahun depan.
Melihat sejumlah indikator atau gelagat perkembangan ekonomi yang positif sebelum Pemilu 2019, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, wajar merasa optimistis bahwa para investor tidak lagi wait and seemenanamkan modal di Indonesia pascapemilu yang berjalan aman. Karena itu, mantan gubernur Bank Indonesia (BI) itu berharap tahapan pemilu yang bakal memuncak pada 22 Mei mendatang atau pengumuman hasil real count KPU bisa berjalan aman, siapa pun kelak yang dikehendaki masyarakat untuk memimpin Indonesia.
Adapun perkembangan realisasi investasi di Indonesia mencapai Rp721,3 triliun sepanjang tahun lalu. Meski realisasi investasi mencatat kenaikan sekitar 4,1% dibanding periode yang sama 2017, itu belum menembus target realisasi Rp765 triliun. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) realisasi investasi penanaman modal asing (PMA) 2018 tercatat sebesar Rp392,7 triliun atau turun sekitar 8,8% dibanding periode 2017.
Sebaliknya, realisasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) tembus Rp328,6 triliun atau naik 25,3% dibanding periode 2017. Sementara itu, tenaga kerja yang terserap sepanjang 2018 mencapai 960.052 orang, terdiri atas PMDN 469.684 tenaga kerja dan PMA 225.239 tenaga kerja.
Sejumlah penyebab realisasi investasi tidak memenuhi target, di antaranya kurangnya eksekusi implementasi kebijakan hingga transisi perizinan sistem online single submission (OSS). Walau target realisasi investasi tahun lalu tidak terwujud, pihak BKPM optimistis meraih target investasi sebesar Rp792,3 triliun pada tahun ini. Melemahnya realisasi investasi terutama dari PMA tak terlepas dari kondisi perekonomian global, di mana Bank Sentral Amerika Serikat (Federal Reserve) dan European Central Bank (ECB) memberlakukan pengetatan kebijakan moneter yang menyebabkan arus modal memilih masuk ke negara berkembang.
Bagaimana dengan aliran modal asing? Pihak BI mencatat kecenderungan aliran modal asing terus meningkat. Sepanjang triwulan pertama 2019, data bank sentral menunjukkan aliran modal asing (capital inflow) menembus angka Rp74,4 triliun. Kontribusi terbesar berasal dari pembelian Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp62 triliun dan saham (equity) Rp11,9 triliun. Penguatan aliran modal asing ke Indonesia tidak terlepas dari kebijakan Federal Reserve dan ECB dan ketidakpastian dan risiko negara berkembang yang menurun.
Kecenderungan capital inflow sejak tiga bulan pertama tahun ini membuat pihak bank sentral semakin optimistis aliran modal asing bakal membanjiri pasar keuangan dalam negeri pascapemilu. Dari sisi eksternal, selain kebijakan Federal Reserve semakin longgar, perundingan perang dagang antara Amerika Serikat dan China sudah mengarah pada titik temu yang diinginkan kedua pihak. Adapun faktor internal terlihat dari defisit transaksi berjalan yang diprediksi akan lebih terkontrol.
Meski terindikasi prospek ekonomi nasional pascapemilu mengarah pada kinerja positif, jangan sampai kita lengah karena masih ada tahapan pemilu yang harus dilewati, sebagai puncak dari pelaksanaan pemilu, yakni penentuan pemenang pasangan calon presiden dan wakil presiden.Siapa pun terpilih kelak untuk memimpin negeri ini lima tahun ke depan, semua pihak harus legawa untuk menerimanya. Kita berharap kinerja perekonomian nasional yang membaik jangan sampai terganggu oleh pergantian pucuk pimpinan tertinggi di negeri ini.
Minggu, 28 April 2019
Perbedaan Investasi dan Tabungan
Investasi adalah segala macam usaha yang dilakukan seseorang untuk menambah nilai dari aset yang telah dimilikinya. Sedangkan tabungan lebih ke arah proses menyimpan sebagian hasil pendapatan yang disimpan atau disisihkan untuk kepentingan di masa mendatang, walaupun pada praktiknya menabung bisa meningkatkan nilai aset (uang) kita dalam bentuk tambahan bunga.
Berbeda dengan tabungan, produk investasi lebih ke arah peningkatan aset dalam bentuk imbal balik dari dana yang kita investasikan. Beberapa karakteristik investasi bisa kita lihat berikut ini:
• Karakteristik investasi
Untuk kepentingan jangka panjang, sehingga tidak dapat digunakan untuk kepentingan mendadak atau jaga-jaga
Pertumbuhan atau penambahan nilai aset lebih cepat
Lebih berisiko, namun dapat memberikan banyak uang
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: Investasi merupakan penanaman uang pada suatu perusahaan atau proyek dengan tujuan memperoleh keuntungan. Jadi investasi adalah membeli aset yang diharapkan di masa depan dapat dijual kembali dengan nilai yang lebih tinggi. Sehingga harapan keuntungan di masa depan merupakan kompensasi atas waktu dan risiko atas investasi yang dilakukan. Ada banyak pilihan berinvestasi, antara lain: deposito, membeli tanah dan bangunan, obligasi, membeli emas, saham, dan sebagainya.
• Jenis Investasi
Pada praktiknya, ada 2 jenis aset yang dapat diinvestasikan, yaitu:
1.Riil Investment
Yaitu menginvestasikan sejumlah dana pada aset yang berwujud, seperti: tanah, emas, bangunan, dan sebagainya.
2. Financial Investment
Yaitu menginvestasikan sejumlah dana pada aset finansial, seperti: deposito, saham, obligasi, dan sebagainya.
Jadi secara umum investasi di atas bisa digolongkan menjadi 2 kelompok, yaitu: investasi riil dan investasi non riil. Investasi riil merupakan investasi dengan objek investasi berupa obyek riil atau nyata meliputi: properti, tanah, perhiasan, dan lain-lain. Sehingga objek investasi riil dapat memiliki pertambahan nilai serta dapat diakses langsung oleh pemiliknya kapan saja.
• Perbedaan investasi riil dengan investasi non riil
Investasi riil dan non riil bisa dilihat dari wujud aset yang diinvestasikan apakah wujud fisiknya terlihat atau hanya dalam bentuk surat berharga. Untuk memudahkan pemahaman, berikut ini perbedaan di antara keduanya jika dilihat dari berbagai sisi:
a) Aset
Aset investasi riil dapat dirasakan atau dilihat keberadaannya, baik itu tampilannya, ukuran, maupun fisiknya, karena berwujud barang atau benda. Sedangkan investasi non riil hanya dapat dilihat berupa: surat-surat berharga, laporan bulanan, portofolio, dan lain-lain.
b) Perantara atau Broker
Investasi riil tidak ada perantara atau broker, karena pemilik aset menjadi perantara untuk dirinya sendiri. Sehingga tidak ada biaya perantara dan semua keputusan semua di tangan pemilik aset.
c) Kepercayaan
Investasi riil tidak terlalu mementingkan tingkat kepercayaan. Namun berbeda dengan investasi finansial yang sangat membutuhkan tingkat kepercayaan, karena melibatkan profesi berstandar tertentu.
•Karakteristik Tabungan
Tabungan, merupakan produk bank yang paling populer dan paling dikenal masyarakat. Beberapa karakteristik dari tabungan sebagai berikut:
1.Untuk jangka pendek atau berjaga-jaga
2. Pertumbuhan nilai aset sangat lambat
3.Minim risiko/hampir tidak berisiko apapun
Menurut Undang-undang No 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan sesuai persyaratan tertentu yang telah disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro atau alat lainnya yang disamakan dengan itu. Adapun tujuan menabung di bank adalah untuk menyisihkan sebagian hasil pendapatan nasabah untuk dikumpulkan sebagai cadangan kebutuhan masa depan dan sebagai alat untuk melakukan transaksi bisnis atau usaha baik secara individu maupun kelompok.
•Sarana yang Dapat Digunakan untuk Penarikan Uang di Tabungan.
Uang yang ada di dalam tabungan bisa ditarik dengan menggunakan: buku tabungan, slip penarikan, kartu ATM (Anjungan Tunai Mandiri), serta sarana lainnya, seperti: formulir transfer, internet banking, mobile banking dan sebagainya.
•Perhitungan Bunga Tabungan
Uang yang disimpan di dalam tabungan akan mendapatkan bunga setiap periode tertentu (biasanya bulanan tergantung kebijakan bank). Adapun cara perhitungan bunga tabungan menggunakan 3 metode sebagai berikut :
1. Metode Perhitungan Bunga Saldo Terendah
Besarnya bunga tabungan dihitung dari jumlah saldo terendah pada bulan laporan dikalikan dengan suku bunga per tahun kemudian dikalikan dengan jumlah hari pada bulan laporan dan dibagi dengan jumlah hari dalam satu tahun. Misalnya: Bunga tabungan bulan Mei= …. % x 31 : 365 x saldo terendah bulan Mei.
2. Metode Perhitungan Bunga Berdasarkan Saldo Rata-rata
Bunga dalam satu bulan dihitung berdasarkan saldo rata-rata dalam bulan berjalan. Saldo rata-rata dihitung berdasarkan jumlah saldo akhir tabungan setiap hari dalam bulan berjalan, dibagi dengan jumlah hari dalam bulan tersebut.
3. Metode Perhitungan Bunga Berdasarkan Saldo Harian
Bunga dihitung dari saldo harian. Bunga tabungan dalam bulan berjalan dihitung dengan menjumlahkan hasil perhitungan bunga setiap harinya.
•Tabungan, Produk Perbankan yang Paling Populer
Menabung di bank menjadi pilihan utama masyarakat saat ini. Berbeda dengan cara menabung pada zaman dahulu, yang cukup menyimpan uangnya di rumah, baik disimpan pada celengan maupun di bawah bantal atau kasur. Pergeseran pola menabung tersebut telah membantu mengembangkan bisnis perbankan. Tabungan menjadi produk yang paling populer di masyarakat, dibandingkan deposito dan giro karena beberapa faktor, antara lain:
a. Persyaratan yang relatif mudah
b. Cukup mengisi aplikasi dan melampirkan identitas diri, seperti: KTP, SIM, paspor, atau kartu identitas lainnya
c. Setoran dana awal tabungan yang relatif kecil
d. Fasilitas yang ditawarkan bank cukup menarik, seperti: kemudahan transaksi, e. e. e. asuransi dan program berhadiah
Namun kelemahan produk tabungan adalah tingkat suku bunga tabungan yang relatif lebih kecil dibandingkan tingkat suku bunga deposito dan giro. Bahkan bagi nasabah yang memiliki saldo terbatas, bunga tabungan yang diperoleh lebih rendah dibandingkan potongan biaya administrasi atau pajak, sehingga saldo nasabah akan terus berkurang akibat beberapa potongan tersebut.
Selasa, 23 April 2019
Analisis data Badan Pusat Statistik (BPS)
- Nilai impor Indonesia Maret 2019 mencapai US$13,49 miliar atau naik 10,31 persen dibanding Februari 2019, namun bila dibandingkan Maret 2018 turun 6,76 persen.
- Impor nonmigas Maret 2019 mencapai US$11,95 miliar atau naik 12,24 persen dibanding Februari 2019 dan turun 2,29 persen jika dibanding Maret 2018.
- Impor migas Maret 2019 mencapai US$1,54 miliar atau turun 2,70 persen dibanding Februari 2019, demikian juga apabila dibandingkan Maret 2018 turun 31,17 persen.
- Peningkatan impor nonmigas terbesar Maret 2019 dibanding Februari 2019 adalah golongan mesin dan peralatan listrik sebesar US$211,2 juta (17,04 persen), sedangkan penurunan terbesar adalah golongan kapal laut dan bangunan terapung sebesar US$47,8 juta (67,32 persen).
- Tiga negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama Januari–Maret 2019 ditempati oleh Tiongkok dengan nilai US$10,42 miliar (29,01 persen), Jepang US$3,97 miliar (11,05 persen), dan Thailand US$2,42 miliar (6,75 persen). Impor nonmigas dari ASEAN 19,21 persen, sementara dari Uni Eropa 8,37 persen.
- Nilai impor semua golongan penggunaan barang baik barang konsumsi, bahan baku/penolong, dan barang modal selama Januari–Maret 2019 mengalami penurunan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya masing-masing 14,31 persen, 7,27 persen, dan 4,17 persen.
Analisis Nilai impor pada data statistik tersebut Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor dan impor Indonesia pada Juni 2018 mengalami penurunan. Adapun BPS mengklaim penurunan tersebut dipengaruhi oleh perayaan Lebaran yang jatuh pada 15-16 Juni 2018. Sementara nilai impor pada Juni 2018 yang sebesar 11,26 miliar dolar AS ternyata mengalami penurunan signifikan hingga 36,27 persen dibandingkan bulan sebelumnya.nilai impor Juni 2018 meningkat 12,66 persen.
Menurut sektornya, ekspor nonmigas rupanya masih didominasi oleh industri pengolahan yang nilainya mencapai 63,01 miliar dolar AS di sepanjang Januari-Juni 2018. Sedangkan pertumbuhan terbesar terjadi pada industri pertambangan dan lainnya yang tercatat naik 36,16 persen pada Januari-Juni 2018 dibandingkan Januari-Juni 2017.
Sedangkan untuk sektor nonmigas yang mengalami pertumbuhan impor terbesar pada Juni 2018 ialah golongan perhiasan/permata dengan nilai sebesar 91,9 juta dolar AS atau setara naik 37,76 secara month-to-month. Di sisi lain, penurunan impor terbesar untuk nonmigas pada Juni 2018 dibandingkan Mei 2018, dialami golongan mesin dan pesawat mekanik yang nilainya mencapai 989,8 juta dolar AS (39,21 persen).
Analisis nilai impor indonesia 2017 menurut Badan Statistik (BPS)
Impor nonmigas November 2017 mencapai US$12,92 miliar atau naik 7,37 persen dibanding Oktober 2017, demikian pula jika dibanding November 2016 meningkat 18,05 persen.
Impor migas November 2017 mencapai US$2,23 miliar atau naik 1,22 persen dibanding Oktober 2017 dan juga meningkat 29,56 persen dibanding November 2016.
Peningkatan impor nonmigas terbesar November 2017 dibanding Oktober 2017 adalah golongan mesin dan pesawat mekanik US$378,5 juta (19,32 persen), sedangkan penurunan terbesar adalah golongan serealia sebesar US$67,9 juta (20,95 persen).
Negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama Januari–November 2017 ditempati oleh Tiongkok dengan nilai US$31,78 miliar (26,46 persen), Jepang US$13,89 miliar (11,56 persen), dan Thailand US$8,44 miliar (7,03 persen). Impor nonmigas dari ASEAN 20,37 persen, sementara dari Uni Eropa 9,32 persen.
Nilai impor semua golongan penggunaan barang baik barang konsumsi, bahan baku/penolong dan barang modal selama Januari–November 2017 mengalami peningkatan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya masing-masing 15,19 persen, 16,37 persen, dan 11,53 persen.
Selasa, 26 Maret 2019
Pengelolaan Sumber Daya Alam di Indonesia
Kasus atau masalah Sumber Daya Alam yang ada di Indonesia
konflik terbaru yang terjadi pada akhir tahun 2016 sampai awal 2019 kemarin, yaitu konflik antara pabrik semen (corporation) dengan para petani (local community). Obyek sengketa adalah proyek pembangunan pabrik semen di wilayah pegunungan kendeng, Rembang, Jawa Tengah, yang juga merupakan spot barisan pegunungan batu kapur (karst). Dalam konflik ini, rakyat (petani lokal Kendeng) menuntut agar pembangunan pabrik semen segera dihentikan karena disinyalir akan menghancurkan lingkungan serta menguras sumber daya air di wilayah tersebut. Sementara perusahaan dan pemda tetap bersepakat akan melanjutkan proyek pembangunan pabrik dengan ijin baru yang diterbitkan oleh Gubernur Jawa Tengah. Konflik ini diwarnai dengan aksi demonstrasi dengan cara mengecor kaki dengan semen oleh beberapa peserta yang sebagian besarnya adalah Ibu-Ibu yang dilakukan di depan istana merdeka guna menarik perhatian sekaligus mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera mencabut izin proyek pembangunan pabrik semen milik PT Semen Indonesia di wilayah mereka. Dalam aksi ini, terjadi satu insiden yang memilukan, dimana Ibu Patmi (48 tahun), salah seorang ibu yang ikut dalam rombongan demo, meninggal dunia usai melakukan aksi demonstrasi. Di duga yang bersangkutan meninggal karena terkena serangan jantung setelah kelelahan yang sangat ekstrem. Sampai tulisan ini diturunkan, belum ada solusi yang tepat untuk memecah kebuntuan atas konflik yang terjadi ini.
Menurut pendapat saya tentang kasus tersebut.
Dari konflik di atas, saya ingin mengajukan pandangan berdasarkan perspektif keilmuwan dari sisi teori Common Property Resources (CPrR) sebagai basis pemikiran untuk mengkonstruksi batas-batas definitif suatu sumber daya. Konstruksi teori ini lahir dari sebuah pengalaman empiris yang bertujuan untuk memetakan hak dan tanggung jawab atas suatu sumber daya pada suatu wilayah khusus yang didalamnya hidup satu atau beberapa kelompok masyarakat yang interaksi kehidupannya sangat intents terhadap sumber daya, sehingga antara mereka (masyarakat lokal) dan sumber dayanya memiliki hubungan yang kuat secara kultural yang tidak bisa terabaikan begitu saja.
Maka bisa dikatakan bahwa sumber daya alam di Karangdowo, Jawa Tengah merupakan hak milik masyarakat sekitar yang peruntukkannya haruslah memprioritaskan aspirasi mereka. Hadirnya pihak ketiga yang akan mengeksploitasi SDA di wilayah tersebut haruslah memahami aspirasi masyarakat lokal dengan mengedepankan prinsip kesejahteraan, keberdayaan, serta keberlanjutan sumber daya sehingga Common Property Resources (CPrR) itu benar-benar bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat lokal, bukan sekedar manfaat sisa atau “basa-basi” kepedulian yang hanya menipu dan bersifat seremonial belaka.
Lebih dari itu, perusahaan sebaiknya menghormati kedaulatan dan hak-hak warga lokal atas sumber dayanya sendiri dengan tidak sering melakukan pendekatan hukum yang kaku dalam menghadapi persoalan seperti ini. Selain tidak menarik, pendekatan hukum yang kaku akan menuai aksi tidak simpatik terhadap perusahaan dan pemda yang pada akhirnya akan sangat merugikan kedua belah pihak. Membangun hubungan dengan rakyat lokal melalui musyawarah dan dialog merupakan pendekatan yang tepat agar segala sesuatu yang berkaitan dengan hak-hak rakyat atas sumber daya tidak hilang begitu saja akibat hadirnya industri ekspansif di wilayah mereka. Dalam hal ini, pemerintah daerah harusnya memposisikan diri sebagai penengah yang baik, bukan justru menjadi provokator konflik dan memihak pada sisi yang lebih kuat.
Selasa, 19 Maret 2019
Pengalaman belajar saya
Saya akan menceritakan pengalaman saya belajar bahasa inggris pada hari sabtu kemarin, pada hari sabtu saya belajar bahasa inggris dikelas saya,yang pertama dosen bahasa inggris saya menyuruh mahasiswa kelas saya untuk membuat tabel pada kertas, setelah itu kita semua harus membuat tabel yang terdiri dari time,monday,tuesday,wednesday,thursday,friday,saturday,dan sunday setelah itu kita harus mengisi sesuai yang ada pada kolom. Kolom pertama kita mengisi time dengan morning dan nama-nama hari kita isi dengan nama teman kita dengan cara bertanya sesuai yang dosen jelaskan.
Sesudah itu jika ada salah satu dari kita yang nama harinya tidak diisi atau kosong,kita dipasangkan dengan dosen,untuk saling bertanya seperti liburan atau lain sebagainya. Pengalaman saya pas pertama kali kuis ini mulai saya tidak punya teman pasangan saya jadi nama hari saya kosong sesudah itu saya dipasangkan dengan dosen saya, pertama saya takut dan gugup pas saya tau harus dipasangkan dengan dosennya karena kita tidak boleh berbicara dengan bahasa indonesia 5 kali menjawab pertanyaan atau bertanya berbicara mengunakan bahasa indonesia kita akan dapat konsukuensinya yang udah dosen saya tentukan. Nah setelah saya itu saya diberi pertanyaan oleh dosen saya yang bertema holiday,dosen saya bertanya kepada saya dengan bahasa inggris tentang holiday saya seperti pergi kemana dan bertemu siapa. saya gugup menjawab pertanyaan dari dosen saya karena saya tidak terlalu mengerti bahasa inggris dan apa yang dibicarakan dosen saya,tapi saya jawab dengan bahasa inggris walau mungkin ada salah kata atau ucapan saya.
Setelah itu waktu habis,saya bergantian dengan teman saya yang nama harinya kosong,teman saya bertanya seperti film favorit saya ,dan tempat yang saya suka. Setelah itu kita disuruh menghapalkan sejarah daerah tempat saya,kita semua disuruh menjelaskan kembali kepada teman pasangan kita. Setelah kuis selesai kita harus membuat blog yang berisi pengalaman belajar pada hari ini, sekian dan terima kasih pengalaman ini membuat saya banyak belajar menjadi paham dan mengerti kosa kata yang belum saya ketahui, saya merasa sangat senang.
Jumat, 15 Maret 2019
Sejarah Perekonomian Indonesia
SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA
Indonesia adalah negara yang memiliki letak geografis yang sangat strategis, karena berada di antara dua benua (Asia dan Eropa) serta dua samudra (Pasifik dan Hindia), perdagangan internasional melalui mitra asing yang datang untuk berdagang juga ikut berperan penting dalam perkembangan Indonesia berupa kedatangan pedagang dari India, China, Arab dan Eropa yang ikut mengeksplorasi rempah-rempah.(Kekaisaran Romawi). Pengertian Sejarah Perekonomian adalah ilmu yang mempelajari tentang fenomena ekonomi yang berubah dapat dilihat dari historynya.
Sejarah perekonomian di Indonesia dibagi dalam beberapa Era (masa) yaitu :
1. Sejarah Perekonomian Indonesia Era Pra Kolonalisme.
Era Pra Kolonialisme yaitu era dimana bangsa asing belum masuk ke Indonesia. Terutama bangsa Eropa yang bertujuan memperluas kekuasaan mereka atau untuk menjadi bangsa penjajah di Idonesia. Pada era ini kita adalah jamannya kejayaan kerajaan-kerajaan di Indonesia. Termasuk masa berkembangnya agama Hindu dan Budha sebagai agama yang pertama kali dikenal di Indonesia. Sehingga adat budaya Hindu-Budha masih dapat kita lihat hingga kini terutama dari bangunan-banguna bersejarah pada masa itu. Diantaranya berbagai prasasati dan candi yang merupakan hasil budaya masyarakat Indonesia pada masa itu.
Dimulailah sejarah Indonesia mengenai penyebaran ajaran Hindu-Budha serta beberapa kerajaan bercorak Hindu-Budha yang sempat berjayaan membuat nama mereka sekaligus raja-raja dan para tokohnya terkenal di seluruh nusantara. Ini berlangsung mulai abad ke-4 hingga abad ke-15. Tepatnya dimulai dari masa kejayaan kerajaan Kutai hingga Kerajaan Malayapura.
Setelah masa itu perdagangan dunia mulai berkembang seiring dengan ditemukannya Indonesia oleh berbagai bangsa lain dari berbagai belahan dunia. Pada abad ke 12 mulailah berdatangan para pedagang atau yang lebih dikenal dengan sebutan para Guzarat dari Timur Tengah. Terutama para pedagang berkebangsaan Arab Saudi yang beragama Islam. Dari mereka inilah cikal bakal penyebaran dan berkembangnya agama Islam di Indonesia ini. Hingga akhirnya agama ini kini masih menjadi agama mayoritas di Indonesia.
Adanya interaksi antara para pedagang dengan orang Indonesia asli untuk berbisnis lama kelamaan berkembang menjadi akulturasi budaya. Tidak sedikit bangsa Arab menikahi orang Indonesia dan menetap di Indonesia. Tidak sedikit pula orang Indonesia yang masuk Islam. Maka kita kenal adanya Wali Songo yang merupakan orang Indonesia asli yang memilii ilmu mengenai agama Islam yang kental. Mereka menjadi penyebar agama Islam di seluruh Nusantara. Terutama di Pulau Jawa dengan berbagai cara yang unik.
Perlahan namun pasti kita juga mulai mengenal gaung dari kerajaan-kerajaan Islam yang juga sempat mengalamami masa kejayaaan. Kita mengenal kesultanan Samudera Pasai, Demak, Banten, dll. Sebagai kerajaan yang bercorak budaya Islam yang kental. Begitupun para tokoh Islam yang terdapat di dalamnya yang cukup berpengaruh dalam perkembangan Islam di Indonesia.Karena mereka juga kita menemukan berbagai kerajaan yang bercorak Islam dalam arsitektur mereka. Pun dengan mesjid-mesjid yanng merupakan tempat beribadah umat Islam yang tersebar di hampir seluruh penjuru Indonesia. Mewarnai budaya Indonesia dengan warna baru setelah sebelumnya didominasi oleh corak budaya Hindu-Budha.
2. Sejarah Perekonomian Indonesia Era Kolonialisme.
A. Portugis
Bangsa Portugis datang ke wilayah Nusantara (Indonesia) karena dorongan ekonomi, agama, dan petualangan. Keberhasilan Vasco da Gama mencapai Kalkuta di pantai barat India pada tahun 1497 telah membuka peluang dan jalan bagi Portugis untuk sampai ke Nusantara. Kalkuta saat itu menjadi bandar utama sutera, kayu manis, porselen, cengkeh, pala, lada, kemenyan, dan barang dagangan lainnya. Barang-barang yang diperdagangkan tersebut mayoritas berasal dari para pedagang Malaka.
B. Belanda
Penjajahan Belanda tak lepas dari sejarah kebangkrutan VOC yang sebelumnya membuka industri dagang di Nusantara. Pada akhir abad ke-18, yaitu abad kebangkrutan VOC di Nusantara dan setelah kekuasaan singkat Britania di bawah pimpinan Thomas Stanford Raffles, pemerintah Belanda mengambil alih kepemilikan VOC. Tepatnya pada tahun 1816.
Tahun 1830, cultuurstelsel atau sistem Tanam Paksa mulai diterapkan. Dalam sistem ini, para rakyat pribumi dipaksa menanam hasil-hasil perkebunan yang menjadi permintaan pasar dunia, seperti teh, kopi dan lain-lain. Hasil perkebunan itu kemudian diekspor ke berbagai negara. Sistem Tanam Paksa ini membawa kekayaan yang besar kepada para pelaksananya, baik pihak Belanda maupun orang Indonesia yang menjadi pemilik tanah, namun tidak bagi para pekerjanya. Para pekerja Tanam Paksa dirampas hak-hak kebebasannya untuk bekerja tanpa henti.
Van Deventer, seorang tokoh liberal Belanda, mengatakan bahwa Indonesia telah berjasa membantu pemerintah Belanda memulihkan keuangannya. Dalam majalah De Gids terbitan Belanda, van Devender menyebutkan bahwa jutaan gulden yang diperoleh Belanda dari bumi Nusantara itu merupakan Een Ereschuld (utang kehormatan). Menurutnya, Belanda berutang kepada bangsa Indonesia atas keuntungan yang diperoleh dari hasil eksploitasi kekayaan Nusantara yang begitu besar. Oleh sebab itu sudah sewajarnya jika kebaikan orang Indonesia itu dibayar kembali. Menurut Van Deventer, utang budi itu harus dibayar dengan peningkatan kesejahteraan melalui trias politica atau politik etis (Ethische Politiek).
Tulisan Van Deventer dan para pengecam dari kelompok politisi liberal lainnya seperti Van dedem, Van kol, De Waal, dan Van den Berg, ternyata berpengaruh besar. Hingga pada tahun 1901, ratu Wilhemina mengumumkan pernyataan bahwa diperlukan suatu penyelidikan terhadap kesejahtraan rakyat Jawa. Van Deventer kemudian dikenal sebagai Bapak Pergerakan Politik Etis. Van Deventer benar-benar menempatkan kesejahtraan rakyat pribumi di atas kepentingan yang lain. Ia juga menjadi penentang kemiskinan akibat Tanam Paksa yang terjadi di Jawa.
C. Jepang
Sewaktu Indonesia masih di bawah penjajahan Jepang, sistem ekonomi yang diterapkan adalah sistem ekonomi perang. Saat itu Jepang merasa penting untuk menguasai sumber-sumber bahan mentah dari berbagai wilayah Indonesia. Tujuan Jepang melakukan itu, untuk menghadapi Perang Asia Timur Raya, Squad. Nah, wilayah-wilayah ekonomi yang sanggup memenuhi kebutuhannya sendiri atau yang diberi nama Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya, merupakan wilayah yang masuk ke dalam struktur ekonomi yang direncanakan oleh Jepang.
Kalau di bidang moneter, pemerintah Jepang berusaha untuk mempertahankan nilai gulden Belanda. Hal itu dilakukan agar harga barang-barang dapat dipertahankan sebelum perang.
3. Sejarah Perekonomian Indonesia Era Orde lama.
Pada masa pemerintahan Ir.Soekarno kegiatan ekonomi masyarakat sangat minim perusahaan (besar saat itu merupakan perusahaan peninggalan penjajah yang mayoritas milik orang asing dimana produk (erorientasi pada ekspor.Kondisi stabilitas sosial politik dan keamanan yang kurang stabil membuat perusahaan - perusahaan tersebut stagnan. Pada periode tahun 1950an indonesia menerapkan model guidance deaelopment dalam pengelolaan ekonomi dengan pola dasar Growth with Distribution of Wealth.
dimana peran pemerintah pusat sangat dominan dalam mengatur pertumbuhan ekonomi pembangunan semesta merencana.Model ini tidak berhasil karena begitu kompleknya permasalahan ekonomi sosial politik dan keamanan yang dihadapi pemerintah dan ingin diselesaikan secara bersama-sama. Puncak kegagalan pembangunan ekonomi orde lama adalah terjadi hiperinflasi yang mencapai lebiih 500% pada akhir tahun 1965.Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan.
4. Sejarah Perekonomian Indonesia Era Orde Baru.
A. Soeharto
Kala Soeharto naik menjadi presiden di saat kondisi ekonomi dan politik yang sedang tidak baik. BPS mencatat pada 1965 ekonomi Indonesia hanya tumbuh sebesar 1,08 persen. Ekonomi Indonesia selama kurun waktu 1960-1965 hanya tumbuh rata-rata dua persen.
Periode 1966-1973 dapat dikatakan sebagai tahun transisi ekonomi. Pada tahun-tahun tersebut, Soeharto mengambil kebijakan untuk memperbaiki keadaan ekonomi yang tengah merosot. Salah satunya mengatasi hiperinflasi. Hal tersebut terlihat dari laju pertumbuhan ekonomi.
Ekonomi pada 1966 hanya tumbuh sebesar 2,79 persen. Setahun berikutnya turun menjadi 1,38 persen. Usaha perbaikan ekonomi tersebut terlihat sejak 1968. Pertumbuhan ekonomi melambung ke level 10,91 persen pada 1968. Pengendalian inflasi pun terlihat berjalan baik. BPS mencatat inflasi turun drastis menjadi 9,86 persen pada awal Pelita I pada 1969.
Perkembangan berikutnya, pertumbuhan ekonomi era Presiden Soeharto konsisten di kisaran lima hingga sembilan persen. Pertumbuhan di bawah lima persen hanya terjadi pada 1982 dan 1983 yaitu 2,2 persen dan 4,2 persen. Sementara itu, krisis minyak dunia (oil boom) yang mulai terjadi pada 1973 ternyata menguntungkan Indonesia.
Naiknya harga minyak dunia membuat ekspor migas Indonesia meningkat dari US$1,61 miliar pada 1973 menjadi US$7,44 miliar pada 1978. Dampak lain, sektor pertambangan dan penggalian lantas menjadi lapangan usaha ketiga penyumbang PDB pada 1973.
Sektor pertambangan dan penggalian pun terus tumbuh seiring ditemukannya ladang minyak baru dan naiknya permintaan minyak dunia. Puncaknya pada 1983, nilai ekspor migas mencapai US$16,14 miliar. Angka tersebut menjadikan sektor ini menguasai lebih dari 70 persen ekspor Indonesia saat itu. Mulai menurunnya harga minyak dunia membuat pemerintahan Soeharto mengubah arah ekonomi.
B. Habibie
Krisis ekonomi global yang bermula pada 1997 dan carut marutnya politik di dalam negeri membuat Soeharto akhirnya mundur pada 21 Mei 1998. BJ Habibie yang sebelumnya bertindak sebagai wakil presiden pun naik menggantikan Soeharto. Habibie tak membuat banyak perubahan pada kebijakan yang menentukan arah PDB. Ia hanya sebentar menjabat sebagai presiden. Pada tahun pertamanya tersebut, pertumbuhan ekonomi terjun bebas menjadi minus 13,31 persen.
Kondisi tersebut turut dipengaruhi krisis nilai tukar yang membuat rupiah terdepresiasi dari Rp3.633 pada Juli 1997 menjadi Rp15.100 pada Mei 1998. Pada tahun keduanya, dengan berbagai perbaikan regulasi, Habibie mencatatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,79 persen pada 1999.
C. Gustur
Melalui pemilihan umum (pemilu), KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) naik menjadi presiden pada 1999. Pertumbuhan ekonomi di era Gus Dur mulai kembali positif. Pada tahun pertamanya, tercatat pertumbuhan ekonomi sebesar 4,92 persen pada 2000. Namun pada tahun berikutnya pertumbuhan ekonomi turun menjadi 3,64 persen.
Selain melihat pertumbuhan ekonomi dari sisi kontribusi lapangan usaha, juga dapat dilihat dari sisi pengeluaran. Pada masa pemerintahan Gus Dur, pengeluaran konsumsi rumah tangga mendominasi ekonomi, di luar aspek pengeluaran lain seperti ekspor-impor, investasi, dan belanja pemerintah.
Indikator pengeluaran konsumsi rumah tangga pada era Gus Dur naik dari Rp856,80 triliun pada 2000 menjadi Rp1.039,65 triliun pada 2001. Hal ini terlihat jelas dari industri penopang pertumbuhan, yaitu pengolahan (27,65%) dan perdagangan, hotel dan restoran (16,20%).
Meskipun begitu, kepemimpinan Gus Dur di bidang ekonomi kurang efektif. Lemahnya kerja tim ekonomi dan buruknya hubungan dengan IMF membuat Gus Dur dimakzulkan pada pertengahan 2001.
5. Sejarah Perekonomian Indonesia Era Reformasi
A. Megawati
Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri naik menggantikannya. Pemerintahan era Megawati cukup berhasil melakukan stabilisasi ekonomi. Terlihat dari laju pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan tren naik. Secara berturut-turut, pertumbuhan ekonomi dari 2002 sebesar 4,5 persen naik menjadi 4,78 persen pada 2003 dan 5,03 persen pada 2004. Industri pengolahan semakin berkembang di era Megawati. Selama tiga tahun kalender, PDB industri tersebut selalu mencapai kisaran Rp400 triliun. Menjadi sektor penyumbang PDB terbesar menurut lapangan usaha.
B. SBY (Susilo Bambang Yudhoyono)
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), cukup baik dalam menjaga pertumbuhan ekonomi. Selama 10 tahun masa kepemimpinannya, pertumbuhan ekonomi melaju di kisaran lima hingga enam persen. Pencapaian terendah terjadi pada 2009 dengan pertumbuhan ekonomi 4,63 persen.
Kondisi pada 2009 tersebut dipengaruhi tekanan ekonomi global yang berdampak pada pelemahan rupiah yang mencapai puncaknya pada kuartal akhir 2008. Hal tersebut mengakibatkan stabilitas moneter dan sistem keuangan pada kuartal pertama 2009 masih mengalami tekanan berat, ekspor barang dan jasa juga mengalami kontraksi yang cukup dalam.
Industri pengolahan masih menjadi kontributor terbesar untuk PDB di masa itu. Kritik ekonomi untuk SBY selama menjabat ialah gagal membangun jaringan infrastruktur. Anggaran infrastruktur pada masa SBY kurang dari empat persen dari APBN. Sementara, anggaran cukup besar untuk pos subsidi energi. Pada APBN 2015, pemerintahan SBY menganggarkan Rp344,70 triliun untuk subsidi energi.
C. Jokowi ( Joko Widodo)
Ekonomi di era Jokowi berkisar di angka lima persen. Pertumbuhan ekonomi tercatat 4,90 persen pada 2015. Tahun-tahun berikutnya, angka tersebut tidak naik terlalu signifikan. Tercatat pertumbuhan ekonomi pada 2016 5,03 persen dan 2017 sebesar 5,07 persen.
Berdasarkan angka, pertumbuhan ekonomi di era Jokowi memang terlihat lebih rendah dibandingkan era Soeharto. Namun perlu dicatat, masa kepemimpinan Jokowi baru berlangsung empat tahun dan belum bisa dibandingkan dengan era kepemimpinan sebelumnya. Selain itu, di era Soeharto, pertumbuhan ekonomi juga tidak selalu stabil. Hanya sekali pertumbuhan mencapai dua digit, belum sampai 12 persen. Tepatnya pada 1968 sebesar 10,92 persen.
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di tiap era berbeda-beda tergantung kebijakan sang presiden. Soeharto membuka keran investasi asing dan terbantu oleh meningkatnya harga minyak dunia. Ia pun memanfaatkan migas sebagai penopang ekonomi di saat Indonesia berperan sebagai eksportir minyak mentah.
Namun, ketika harga minyak dunia turun, Soeharto memutuskan untuk mulai beralih ke sektor nonmigas. Ada pula masanya pertumbuhan ekonomi berada di bawah tekanan IMF sebagai pemberi dana untuk perbaikan perekonomian negara seperti di era Habibie. Sedangkan pada era SBY, lebih mengambil jalan aman dengan melakukan stabilisasi makroekonomi dan politik dengan subsidi energi yang besar. Sedangkan masifnya pembangunan infrastruktur beberapa tahun terakhir, bisa jadi penopang baru untuk geliat ekonomi di masa depan.