Kasus atau masalah Sumber Daya Alam yang ada di Indonesia
konflik terbaru yang terjadi pada akhir tahun 2016 sampai awal 2019 kemarin, yaitu konflik antara pabrik semen (corporation) dengan para petani (local community). Obyek sengketa adalah proyek pembangunan pabrik semen di wilayah pegunungan kendeng, Rembang, Jawa Tengah, yang juga merupakan spot barisan pegunungan batu kapur (karst). Dalam konflik ini, rakyat (petani lokal Kendeng) menuntut agar pembangunan pabrik semen segera dihentikan karena disinyalir akan menghancurkan lingkungan serta menguras sumber daya air di wilayah tersebut. Sementara perusahaan dan pemda tetap bersepakat akan melanjutkan proyek pembangunan pabrik dengan ijin baru yang diterbitkan oleh Gubernur Jawa Tengah. Konflik ini diwarnai dengan aksi demonstrasi dengan cara mengecor kaki dengan semen oleh beberapa peserta yang sebagian besarnya adalah Ibu-Ibu yang dilakukan di depan istana merdeka guna menarik perhatian sekaligus mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera mencabut izin proyek pembangunan pabrik semen milik PT Semen Indonesia di wilayah mereka. Dalam aksi ini, terjadi satu insiden yang memilukan, dimana Ibu Patmi (48 tahun), salah seorang ibu yang ikut dalam rombongan demo, meninggal dunia usai melakukan aksi demonstrasi. Di duga yang bersangkutan meninggal karena terkena serangan jantung setelah kelelahan yang sangat ekstrem. Sampai tulisan ini diturunkan, belum ada solusi yang tepat untuk memecah kebuntuan atas konflik yang terjadi ini.
Menurut pendapat saya tentang kasus tersebut.
Dari konflik di atas, saya ingin mengajukan pandangan berdasarkan perspektif keilmuwan dari sisi teori Common Property Resources (CPrR) sebagai basis pemikiran untuk mengkonstruksi batas-batas definitif suatu sumber daya. Konstruksi teori ini lahir dari sebuah pengalaman empiris yang bertujuan untuk memetakan hak dan tanggung jawab atas suatu sumber daya pada suatu wilayah khusus yang didalamnya hidup satu atau beberapa kelompok masyarakat yang interaksi kehidupannya sangat intents terhadap sumber daya, sehingga antara mereka (masyarakat lokal) dan sumber dayanya memiliki hubungan yang kuat secara kultural yang tidak bisa terabaikan begitu saja.
Maka bisa dikatakan bahwa sumber daya alam di Karangdowo, Jawa Tengah merupakan hak milik masyarakat sekitar yang peruntukkannya haruslah memprioritaskan aspirasi mereka. Hadirnya pihak ketiga yang akan mengeksploitasi SDA di wilayah tersebut haruslah memahami aspirasi masyarakat lokal dengan mengedepankan prinsip kesejahteraan, keberdayaan, serta keberlanjutan sumber daya sehingga Common Property Resources (CPrR) itu benar-benar bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat lokal, bukan sekedar manfaat sisa atau “basa-basi” kepedulian yang hanya menipu dan bersifat seremonial belaka.
Lebih dari itu, perusahaan sebaiknya menghormati kedaulatan dan hak-hak warga lokal atas sumber dayanya sendiri dengan tidak sering melakukan pendekatan hukum yang kaku dalam menghadapi persoalan seperti ini. Selain tidak menarik, pendekatan hukum yang kaku akan menuai aksi tidak simpatik terhadap perusahaan dan pemda yang pada akhirnya akan sangat merugikan kedua belah pihak. Membangun hubungan dengan rakyat lokal melalui musyawarah dan dialog merupakan pendekatan yang tepat agar segala sesuatu yang berkaitan dengan hak-hak rakyat atas sumber daya tidak hilang begitu saja akibat hadirnya industri ekspansif di wilayah mereka. Dalam hal ini, pemerintah daerah harusnya memposisikan diri sebagai penengah yang baik, bukan justru menjadi provokator konflik dan memihak pada sisi yang lebih kuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar