kebijakan utang luar negeri guna mempercepat pertumbuhan perekonomian
Sejak krisis ULN dunia pada awal 1980-an, masalah ULN yang di alami banyak NB tidak semakin baik. Banyak NB semakin terjerumus ke dalam krisis ULN sampai negara-negara pengutang besar terpaksa melakukan progam-progam penyesuain strukturakl terhadap ekonomi mereka atas desakan dari Bank dunia dan moneter internasional(IMF), sebagai syarat utama untuk mendapatkan pinjaman baru atau pengurangan terhadap pinjaman lama(Tambunan, 2001)..
Tingginya Uln dari banyak NB disebabkan terutama oleh 3 jenis defisit yaitu :
1.Defisit transaksi berjalan atau TB atau disebut juga dengan trade gap yaitu ekspor lebih sedikit dari pada impor
2.Defisit investasi atau IS gap yakni dana yang dibutuhkan untuk membiayai investasi disalam negeri lebih besar dari pada tabunghan nasional atau domestik dan
3.Defisit fiskal
Dari faktor-faktor tersebut, defisit TB sering disebut didalam literatur sebagai penyebab utama membengkaknya ULN dari banyak NB. Besarnya defisit TB melebihi surplus neraca modal(CA) (kalau saldonya memang positif) mengakibatkan defisit neraca pembayaran (BOP) yang berarti juga cadangan devisa(CD) berkurang. Apabi8la saldo TB setiap tahun negatif, maka CD dengan sendirinya akan habis kjika tidak ada sumber-sumber lain(misalnya modal investasi dari luar negeri).
Dari uraian diatas, dapat dimengerti bahwa defisit TB yang terjadi terus menerus membuat banyak NB harus tetap bergantung pada pinjaman luar negeri (PLN), terutama negara-negara yang kondisi ekonominya tidak menggairahkan investor-investor asing sehingga sulit bagi negara tersebut untuk mensubstitusikan PLN dengan investasi misalnya dalam bentuk penanaman modal asing (PMA).
Sejak pemerintrahan Orde Baru hingga saat ini tingkat ketergantungan Indonesia pada ULN tidak pernah menyurut, bahkan mengalami akselerasi yang pesat sejakl krisis ekonomi1997-1998 karena periode tersebut pemerintah Indonesia terpaksa membuat utang baru dalam jumlah yang besar dari IMF untuk membiayai pemulihan ekonomi. pda masa normal pada maasa pemerintahan Soeharto, ULN dibutuhkan terutama untuk membiayai defisit investasi, defisit investasi, defisit TB, dan beberapa komponen dari sisi pengeluaran pemerintah didalam Anggran Pendapatan dan Belanja Negara(APBN).
a.Kebijakan pinjaman luar negeri pemerintah
Besarnya akumulasi ULN, khususnya dari pemerintah, dan terutama sangat terasa setelah krisis ekonomi 1997/1998, memaksa pemerintah Indonesia mengatur secara khusus atau mengubah paradigma soal penanganan PLN di dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999-2004. Sejak itu, kebijakan fiskal yang menjadi andalan bagi penerimaan pemerintah ditekankan untuk mengurangi ketergantungan pemerintah terhadap ULN. Selain GBHN 1999-2004, amanat pengurangan ketergantungan pemerintah (atau APBN) terhadap ULN juga diliuangkan dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2000-2004 (Undang undang No.25 tahun 2000) mengenai program atai pedoman secara rinci pengelolaan utang pemerintah. Program ini untuk mewujudkan kemandirian pembiayaan pembangunan. Adapun sasaranya adalah tercapainya penggunaan pinjaman pemerintah, baik dalam negeri maupun luar negeri, beban ULN.
Kegiatan pokok yang dilakukan :
Mengurangi secara bertahap pembiayaan pembangunan dalam memakai ULN, yang merupakan selilsih antara pencairan pinjaman baru dan pembayaran pokok utang. Sejalan dengan peningkatn penerimaan dalam negeri,tingkat ULN diupayakan menurun setiap tahunnya.
Membenahi mekanisme dan prosedur pelaksanaan PLN, termasuk perencanaan, proses seleksi, pemanfaatan dan pengawasannya. ULN pemerintah harus dikelola secara transparan dan selalu dikonsultasikan dengan DPR dan diatur dengan Undang-Undang. Dalam kaitan itu perlu disusun peraturan-peraturan perundang-undangan yang melandasi dan memayungi berbagai PLN, khususnya yang terkait dengan pinjaman pemerintah, langsung ataupun memalalui jaminan, baik pemerintah pusat maupun daerah;
Memanfaatkan pinjaman secara optimal sesuai dengan prioritas pembangunan dan dilaksanakan secara transparan, efektif, dan efisien;
Mengkaji secara menyeluruh kemampuan secara proyek dan mempertajam prioritas pengeluaran anggaran denagn memperkuat pengawasan yang sistemik, utamanya bagi proyek-proyek yang dibiayai dari ULN.
Meningkatkan kemampuan diplomasi dan negoisasi PLN untuk memperoleh jangka waktu dan pola persyaratan yang memudahkan proses pencairan dan memperinagn beban pembayaran;
Memalakukan restrukturisasi ULN, termasuk permohonan pemotongan utang dan penjadwalan kembali ULN dengan para donor secara transparan dan dikonsultasikan denagn DPR.
Di dalam Undang-undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2003 tentang pengendalian jumlah komulatif defisit APBN dan APBD (anggarn pendapatan dan belanja daerah) serta jumlah komulatif pinjaman pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga diatur bahwa defisit anggaran juga dibatasi maksimal 3 persen dari PDB dan pinjaman (jumlah koulstif pinjaman pemerintah pusat dan pemerintah daerah) dibatasi paling besar 60% dari PDB.
Selain itu, BAPPENAS juga membuat empat strategi pengelolaan ULN untuk mengantisipasi masalah liquiditas dan solvabilitas guna mencapai kesinambunagn fiskal dan perekonomian yang terkait denagn ULN. Keempat strategi tersebut adalah: (1) percepatan pencapaian batas aman ULN, (2) penetapan prioritas penggunaan ULN, (3) pembentukan lembaga pengelolaan utang(DMO) dan (4) pembentukan perangkat peaturan bagi kebijakan pengeloalaan ULN. Indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur solvabilitas adalah rasio cicilan pokok plus bunga terhadap ekspror (DSR). Untuk mencapai batas aman. Kebijakan pinjaman luar negeri pemerintah
Besarnya akumulasi ULN, khususnya dari pemerintah, dan terutama sangat terasa setelah krisis ekonomi 1997/1998, memaksa pemerintah Indonesia mengatur secara khusus atau mengubah paradigma soal penanganan PLN di dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999-2004. Sejak itu, kebijakan fiskal yang menjadi andalan bagi penerimaan pemerintah ditekankan untuk mengurangi ketergantungan pemerintah terhadap ULN. Selain GBHN 1999-2004, amanat pengurangan ketergantungan pemerintah (atau APBN) terhadap ULN juga diliuangkan dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2000-2004 (Undang undang No.25 tahun 2000) mengenai program atai pedoman secara rinci pengelolaan utang pemerintah. Program ini untuk mewujudkan kemandirian pembiayaan pembangunan. Adapun sasaranya adalah tercapainya penggunaan pinjaman pemerintah, baik dalam negeri maupun luar negeri, beban ULN.
b. Biaya ULN
Masalah ULN yang dialami oleh banyak NB, termasuk Indonesia, yang sering diperdebatkan oleh masyarakat dan pemerintah sebenarnya bukan persoalan jumlah atau tingkat ketergantungan ULN, melainkan beban atau biaya yang harus dibayar ULN tersebut. Andaikan tidak perlu membayar bunga pinjaman atau bunganya sangat rendah dan waktu pengembaliannya panjang, mungkin ULN tidak pernah akan dipersoalkan sebagai masalah serius,. Pembayaran bunga ULN selama ini memang menjadi penyebab utama besarmya biaya yang harus ditanggung oleh negara-negara peminjam. Biaya ini semakin besar saat penghasilan devisa (dari ekspor atau arus masuk investasi asing) dari negara tersebut semakin kecil.
Biaya PLN/ULN bisa di ukur secara langsung dan tidak langsung. Pendekatan secara langsung dilakukan dengan cara membandingkan antara jumlah ULN dari suatu negara dengan kekayaan atau liquiditas negara tersebut. Jadi, misalnya ULN dibandingkan dengan jumlah cadangan internasional (CI) atau dengan cadangan devisa (CD). Cadangan internasional disini (CI) terdiri dari emas (penilaian nasional), CD, posisi cadangaghn Indonesia di IMF, dan Special Drawing Rights (SDRs). Dapat dilihat bahwa perkembangan kedua rasio tersebut selama periode 1981-2005 menunjukkan tren-tren yang menurun.
Sementara itu, pendekatan langsung adalah menganalisis biaya dalam nilai moneter (rupiah) yang sebenarnya harus ditanggung, yang dapat dikelompokkan kedalam dua kategori, yakni: (1) biaya pinjaman itu sendiri dan (2) biaya yang muncul akibat penyelewengan penggunaan ULN atau biaya yang muncul dari pelaksanaan proyek PLN. Jadi, kategori kedua ini termasuk biaya korupsi yang muncul akibat terjadimya penyelewengan dalam pengunaan ULN, atau dana ULN yang di korup, dan biaya akibat penyerapan ULN yang rendah.
c. Manfaat dan dampak ULN
Kasus Indonesia
Dalam jangka pendek, utang luar negeri sangat membantu pemerintah Indonesia dalam upaya menutup defisit anggaran pendapatan dan belanja negara, akibat pembiayaan pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan yang cukup besar. Dengan demikian, laju pertumbuhan ekonomi dapat dipacu sesuai dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya.
Tetapi dalam jangka panjang, ternyata utang luar negeri pemerintah tersebut dapat menimbulkan berbagai persoalan ekonomi di Indonesia. Pada masa krisis ekonomi, utang luar negeri Indonesia, termasuk utang luar negeri pemerintah, telah meningkat drastis dalam hitungan rupiah. Sehingga, menyebabkan pemerintah Indonesia harus menambah utang luar negeri yang baru untuk membayar utang luar negeri yang lama yang telah jatuh tempo. Akumulasi utang luar negeri dan bunganya tersebut akan dibayar melalui APBN RI dengan cara mencicilnya pada tiap tahun anggaran. Hal ini menyebabkan berkurangnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat pada masa mendatang, sehingga jelas akan membebani masyarakat, khususnya para wajib pajak di Indonesia..
Terakhir, Sugema dan Chowdury (2005) mengkaji dampak arus ULN terhadap pengeluaran pemerintah. Untuk ini mereka memakai analisis fungsi dorongan melakukan respons (IR), dan ULN diklisifikasikan kedalam dua kategori: pinjaman proyek dan pinjaman program. Setiap kategori akan mempunyai dampak yang berbeda terhadap tipe yang berbeda dari pengeluaran pemerintah. Pinjaman proyek biasanya diarahkan untuk membiayai pengeluaran pembangunan, misalnya pembangunan infrastruktur. Oleh karena itu, dapat diharapkan bahwa suatu kenaikan dalam pencarian pinjaman proyek akan cenderung membuat tingkat yang lebih tinggi dari pengeluaran pembangunan. Dampak pinjaman proyek terhadap pinjaman rutin pemerintah akan sangat tergantung apakah pinjaman itu fungible atau tidak. Pinjaman program, disisi lain biasanya adalah fungible karena digunakan pada saat-saat krisis/kesulitan.
Standart terhadap pinjaman program akan menyebabkan pengeluaran rutin meningkat dan pengeluaran pembangunan menurun, menurut Sugema dan Cowdhury (2005), dalam masa- masa sulit, dapat dipahami bahwa tujuan mendapatkan pinjaman program adalah sebagai penyangga untuk mepertahankan tingkat minimum pengeluaran rutin, terutama pos-pos yang jumlahnya besar dan tidak bisa dihindari seperti gaji dan upah. Pada masa-masa kesulitan ekonomi, pendapatan fiskal bisanya menurun dan oleh karena ketergantungan pada dana pinjaman meningkat. Sementara itu, interpretasi dari respons pengeluaran pembangunan memerlukan tanggapan kritis. Penurunan itu bisa terjadi karena adanya pinjamn program, tetapi itu merupakan penyesuaian yang harus dilakukan dalam situasi krisis ketika pinjaman program datang. Jadi hasil simulasi ini menandakan adanya korelasi negatif antara pinjamn program dan pengeluaran pembangunan. Ini juga memberi kesan bahwa Indonesia tidak mempunyai mekanisme internal pasa sisi fiskal untuk mengahadapi kemorosotan ekonomi. Dari hasil simulasi mereka yang diperhatikan diatas tersebut, Sugema dan Cowdhury (2005) menyimpulkan bahwa tidak adanya hubungan positif antara ULNp dan pertumbuhan ekonomi disebabkan pinjaman tersebut pada akhirnya lebih banyak dipakai untuk membiayai pengeluaran rutin. Ini bisa mempersulit pemerintah dalam membayar kembali utangnya termasuk bunga pinjaman tersebut tidak membuat pemasukan bagi pemerintah.
d. Upaya Mengurangi Beban ULN Pemerintah
Sasaran pokok kebijakan fiskal setelah krisis ekonomi adalah mengurangi ketergantungan pemerintah pada ULN atau menurunkan rasio utang terhadap PDB. Tahun 2000, rasio ULN terhadap PDB Mendekati 100 persen, tahun 2004 menjadi 55,99persen, tahun 2005 turun menjadi 47,05 persen, dan lagi menjadi 37,5 persen tahun 2006. Bahkan pemerintah berusaha menjadikan rasio utang maksimum 35 persen.
Sudah cukup banyak simulasi ekonometri yang menunjuikkan bahwa pengurangan /pengampunan utang di negara-negara dengan jumlah ULN yang sangat besar memberi dampak positif bagi ekonomi mereka. Misalnya, Iyoha, (1999) dengan memakai ekonomi makro dengan data dari negara-negara Afrika sub-sahara untuk periode 1970-1994 melakukan simulasi kebijakan untuk meneliti dampak skenario dari alternatif pengangguran stok utang (paket penggangguran utang sebesar 5, 10, 20 dan 50 persen) yang dilakukan pada tahun 1986 terhadap investasi dan pertumbuhan ekonomi dalam tahun-tahu berikutnya. Hasilnya menunjukkan bahwa pengangguran stok ULN akan mempunyai efek 20 persen, rata-rata, akan menaikkan investasi sebesar 18 persen dan kenaikan PDB 1 persen untuk periode 1987-1994. Jadi, hasil ini mendemonstrasikan bahwa penghapusan ULN bisa memberikan stimulus yang dibutuhkan untuk pemulihan investasi dan pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut yang memang sangat dibutuhkan.
Upaya mengurangi beban ULN bisa dilakukan denagan empat cara : (1) pengurangan/peemotongan, penundaan, penjadwalan ulang pembayaran cicilan pokok, dan bunga utang (2) konversi utang (3) melunasi lebih awal utang jangka pendek, dan atau (4) meminta penghapusan utang yang masih ada. 1 s.d 3 merupakan strategi jangaka pendek, sementara cara (4) adalah mengurangi ketergantungan pada ULN atau mengurangi perbutan utang baru. Ini merupakan strategi jangka panjang, karena mengurangi ketergantungan pada ULN memerlukan waktu yang tidak pendek. Hal ini disebaabkan mencari sumber-sumber alternatif bukan hal mudah.
Permintaan keringanan pembayaran ULNp dari sumber resmi dailakukan melalui paris club. Menurut kebiayaan atau konvensi umum yang berlalu, ada berbagai persyratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh pemerintah debitur untuk bisa mengajukan permohonan keringanan pembayaran ULN melalui Paris Club. Pertama, mengikuti program IMF. Melalui program ini, negara-negara kreditur dapat memahami alasan permohonan tersebut dan bisa memantau bukan saja penggunaan PLN baru, tetapi juga kemampuan negara debitur juntuk membayar kembali ULN mereka. Kedua, status pinjaman yang didapt oleh negara yang bersangkutan dari Bank Dunia. Dalam persyratan ini, keringanan hanya diberikan kepada negara yang bisa menunjukkan perlunya keringanan tersebut dan negara yang selama itu hanya mampu meminjam dari IDA (International Devolepment Assocition) (Nasution, 2004).
Pemerintah Indonesia sudah melakukan permohonan keringanan melalui Paris Club sebanyak tiga kali berturut-turut selama periode Agustus 1998 hingga Desember 2003. Pertama (PC-I), September 1998 penjadwalan ulang publik 4,5 miliar dolar AS yang jatu tempo antara Agustus 1998 dan maret 2000. Pinjaman ODA (3 miliar dolar AS) dijadwal ulang hingga 20 tahun yang ksenjangan waktu 5 tahun. Untuk pinjamann non ODA (1,5 miliar dolar AS), penjadwalan ulang hingga 11 tahun dengan kesenjangan waktu 3 tahun. Penjadwalan ulang yang lebih besar diberikan melaluli PC-II, April 2000, sebesar 5,8 miliar sementara itu, melalui PC-III sebesar 5,4 miliar dolar AS (pokok dan bunga) untuk periode antara April 2002 dan Desember 2003.
Pada tahun 2005, seperti yang diberitakan di kompas (finansial, kamis, 10 Maret 2005), pemerintah Indonesia berharap mendapatkan moratium atau penundaan pembayaran utang minimal sekitar Rp 3,4 triliun dari Paris Club. Moraorium utang itu akan mengurangi defisit dalam proyeksi perubahan APBN (APBN-P) 2005, dari Rp 32,6 triliun atau sekitar 1,3 persen dari PDB menjadi Rp 28,0 triliun atau 1,07 persen dari PDB. Selanjutnya, tebitan kompas berikutnyya (sabtu, 12 maret 2005, halamn 13) memberitakan bahwa negara-negara kreditor ysng tergabung dalam Paris Club memberikan maratorium utang pada tahun yang sama pada negara Indonesia senilai 2,6 miliar dolar AS dengan alasan Indonesia sedang membutuhkan dana yang besar akibat bencana tsunami. Negara-negara kreditor sepakat tidak mengharapkan pembayaran dari negara-negara korban tsunami (Indonesia, Thailand, Maladewa, Sri Langka, India, Somalia) selama Bank Dunia dan IMF melakukan penilaian atas keperluan atas pembiayaan korban tsunami. Paris Club juga sepakat pada waktu itu bahwa bunga utang yang tidak dibayar selama tahun 2005 tersebut akan direkap dan ditambah menjadi utang pokok. Pembayarannya dilakukan dalam waktu 5 tahun dengan masa tenggang 1 tahun. Artinya, maratorium bunga dan utang tahun iutu baru dibayar pada tahun 2007.
Akan tetapi, berita-berita di kompas pada tahun 2005 juga menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia, disisi lain, kelihatan lebih berhati-hati dalam menerima tawaranatau meminta keringanan pada Paris Club. Wibowo (2005) temasuk dari kalangan yang mengkritik sikap pemerintah itu. Ia mengatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak serius menggunakan kesempatan yang ada , padahal pada tahun itu Indonesia mempunyai peluang untuk mendapatkan maratoriumn utang senilai milnimal Rp 20-25 triliun, tanpa keharusan menerapkan program IMF pemerintah Indonesia memegang selalu mengkaji sulu setiap ada tawaran atau kesempatan mendapatkan maratorium, apakah fasilitas itu terkait dengan persyratan tertentu, terutama keharusan ikut dalam program IMF dan mengenai asas perlakuan yang sama terhadap kreditor . sebenarnya pemerintah khawatir apabila kedua persyratan tersebut diberlakukan, maka itu dapat menurunkan peringkat Indonesia dipasar modal internasional. Khususnya persyartan asas perlakukan yang sama terhadap kreditor akan membuat sektor swasta kesulitan dalam mencari pendanaan di Psar modal internasional, karena persyratan tersebut terkait dengan penundaaan pembayaran utang kepada bank-bank asing, atau dalam kata lain, bank-bank asing juga dipersyratkan untuk ikut memberikan maratorium utang kepada Indonesia.
Sejauh ini konversi ULNp Indonesia baru dilakukan oleh pemerintah Jerman, salah satu anggota Paris Club, menurut Hadar(2006b) secara nominal mencapai 96 jutaeuro(RP 1,033 triliun), atau menurut berita di kompas (jumat, 4 Agustus, halaman 21 ) sebanyak 93,57 juta euro (Rp 1,09 triliun). Nilai ini jauh lebih kecil dibandingkan ULNp yang berjumlah 1,1, miliar euro. Namun, sekecil apapun penghapusan utang perlu di apresiasi sambil mengupayakan duplikasi dan multiplikasi (Hadar, 2006b, hal.6 ).
Upaya penurunan beban atau stok ULNp memang hal positif karena dengan sendirinya akan mengurangi tekanan terhadap APBN. Hasil penelitian dari Chowdhury dan Sugema (2003) menunjukkan bahwa penjadwalan ulang melalui PC-I hingga PC-IIImewakili sekitar 65 persen dan 54 persen dari pengeluaran pembangunan, masing-masing, tahun 2001 dan 2002. Dengan membiayai pengeluaran pembangunan, hasil study mereka itu menunjukkan bahwa pengeluaran pembangunan selama 2000-2002 akan naik mendekati 4 persen dari PDB ini sekitar dua kali lipat jumlah tanpa PC-I s,d PC-III tersebut.
Namun demikian, juga perlu dilihat dengan cara apa upaya tersebut dilakukan. Dalam kata lain, upaya seperti itu bukan tanpa biaya. Goldstein (2003)(dikutup dari Buchori, 2006) berdasarkan hasil penelitiannnya mrengenai ULNp Brazil mengtakan bahwa biaya yang harus dikeluarkan dari penlunasan ULN biasanya dalam bentuk perubahan kebijakan untuk menjamin kesanggupan negara tersebut membayar utangnya tepat waktu tanpa berdampak negastif terhadap pertumbuhan ekonominya. Misalnya menaikkan suku bunga agar tabungan meningkat (didorong dengan arus modal asing) dan kebijakan fiskal dan sifatnya kontraksi, sering disebut kebijakn fiskal yang ketat (yakni menaikkan pajak/ mengurangi pengeluaran). Yang sering tejadi akhirnya kebijakan seperti itu berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemiskinan terutama juga karena banyak program atau proyek yang bermanfaat bagi kaum miskin ynag bisa mengurangi kemiskinan dihentikan.
Pada pertengahan tahun 2006 terjadi perdebatan cukup sengit tentang pembayaran ULNp kepada IMF. Persoalannya adalah, disatu pihak, Bank Indonesia (BI) ingin melunasi utang kepada lembaga moneter internasional tersebut sesegera mungkin, sementara, di pihak lain, pemerintah tampaknya agak ragu. Menurut Sadewa (2006), alasan BI mempercepat pelunasan utang ke IMF adalah beban bunga semakin berat. Disi lain, pemerintah punya perjanjian dengan Japan Bank for Indonesia Cooperation (JBIC) yang mengharuskan pemerintah membayar lunas utangnya ke Bank Jepang tersebut yang tercatat sebesar 700 juta dolar AS jika utang ke IMF dilunasi. Padahal dana untuk kewajiban kepada JBIC itu tidak di anggarkan dalam APBN 2006. Juga beberapa pejabat pemerintah mengatakan bahwa pelunasan utang kepada IMF dapat memancing para spekulan untuk menarik dana mereka di Indonesia. Jika jumlah dana yang tertarik sangat besar, dikhawatirkan bisa terjadi krisis rupiah yang selanjutnya mengakibatkan krisis ekonomi seperti sebelumnya. Namun demikian, setelah perdebatan yang cukup ramai, Indonesia akhirnya melunasi seluruh utangnya kepada IMF setelah pembayaran tahap kedua sebanyak 3,2 miliar dolar AS pada bulan Oktober 2006. Dengan demikian, berakhir pula post program monitoring yang selama ini dicurigai oleh masyarakat Indonesia sebagai mekanisme intervensiIMF terhadap kebijakan ekonomi Indonesia (Prasetyantoko 2006).
Seperti ysng telah dibahas sebelumnya, fungsi utama dari pinjaman IMF hanya untuk berjaga-jaga dan sebagai alat untuk menjaga atau meningkatkan kepercayaan pasar terhadap rupiah dan sistem keuangan Indonesia, tetapi biaya yang harus di tanggung pemerintah Indonesia tidak kecil. ULNp ke IMF pada akhir 2005 mencapai 7,9 miliar dolar AS. Menurut Ramli (2002), pemerintah Indonesia membayar 2,3 nilai dolar AS ke IMF, yang terdiri dari 1,8 miliar dolar AS dalam pokok utang dan 500 juta dolar AS dalam bunganya. Sementara seperti yang dijelaskan di Sadewa (2006b), total pembayaran ke IMF tahun 2005mencapai hampir 1,46 miliar dolar AS, dan diperkirakan akan naik menjadi 1,6 miliar dolar AS tahun 2006 dan akan terus naik hingga tahun 2008. Dari total pembayaran pada tahun 22006 itu, 323 juta dolar AS (atau sekitar Rp 3,06 triliun dengan asumsi kurs Rp 9.500 per satu dolar AS ) mengikuti jadwal yang ditetukan oleh IMF, utang pemerintah, ke IMF akan lunas pada tahun 2011, total bunga yang harus dibayar Indonesia akan mencapai 1,08 miliar dolar AS (sekitar Rp 10 triliun), atau rata-rata 180 juta dolar (sekitar Rp 1,7 triliun) per tahun. Jumlah tidak ini tidak kecil, hampir sama dengan subsidi pupuk Rp 2,0 triliun yang di anggarkan APBN 2006.
e. Peran World Bank Dan IMF Dalam Akumulasi Utang
Peran Bank Dunia di Indonesia sejalan dengan peralihan kekuasaaan di Indonesia, dari pemerintahan Soekarno kepada Soeharto. Dimulai dengan keinginan untuk melakukan penjadwalan kembali utang-utang luar negeri Indonesia, memperoleh pinjaman baru ekonomi Indonesia yang terpuruk, serta menarik investor asing ke Indonesia, maka dimulailah serangkaian pertemuan ke arah itu, yakni Tokyo Club (Tokyo, September 1966), Paris Meeting (Paris, Desember 1966), diikuti dengan pertemuan Amsterdam bulan Februari 1967, pertemuan terakhir di Belanda itulah yang menghasilkan yang konsorsium negara-negara yang memberikan pinjaman bagi Indonesia yang dikenal dengan IGGI (Inter- Governmental Group on Indonesia). Pinjaman negara-negara itu diberikan kepada Indonesia lewat Bank Dunia. Awalnya, IGGI mencakup 16 negara, diantaranya: Belanda, Jepang (pemberi pinjaman terbesar bagi Indonesia), Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan beberapa negara lainnya. Pada tahun 1992 pemerintah RI membubarkan IGGI dan membentuk CGI (Consultative Group on Indonesia), dengan tujuan mengeluarkan Belanda dari konsorsium, karena dianggap terlalu campur tangan terhadap pembangunan dalam negeri Indonesia.
Peran Bank Dunia sebagai fasilitator negara-negara kreditor dalam memberikan pijaman ke Indonesia memiliki peranan yang sangat penting. Oleh karena itu, perilaku lembaga multilateral ini perlu dilihat lebih dalam lagi. Perilaku Bank Dunia dalam menjalankan misinya dipengaruhi peran gandanya dimana kedua peran itu sesunguhnya saling bertolak belakang (Winters 1996). Pertama, peran Bank Dunia merupakan agen pembangunan bagi negara-negara peminjam. Kedua, peran Bank Dunia sebagai Bank komersil dan profesional atas dana yang diterima dan dana yang salurkan.peran kedua inilah yang lebih berkaitan dengan kelangsungan hidup dari Bank Dunia sendiri, karena dari keuntungan selisih bunga pinjaman dan bunga simpanan Bank Dunia memperoleh penghasilannya yang di gunakan untuk membayar (dengan mahal) para pegawainya dan deviden bagi para negara pemegang saham.
Posisi yang berlawanan dari kedua peran itu adalah bahwa sebagai agen pembangunan, Bank Dunia wajib mengawasi pelaksanaan proyek mulai dari proses identifikasi sampai dengan pelaksanaan akhir proyek tersebut. Denga possisi dan wibawanya, Bank Dunia berhak dan wajib memberhentikan pelaksanaan dan pembiayaan suatuproyek apabila pelaksanaan proyek itu dianggap menyimpang dari ketentuan Bank Dunia sebagai agen pembangunan. Akan tetap, apabila hal itu dilakukan, akan memnimbulkan ketegangan hubungan antara Bank Dunia dengan pemerintah negara yang bersangkutan dan bisa menyebabkan si penguasa enggan meminjam kembalo ke Bank Dunia.
Kecendrungan atas peran sebagai Bank komersial juga tanpakmdari aliran modal yang teru-menerus masuk kepada negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia. Belum selesai berapa proyek berjalan, sudah direncankan lagi pinjaman untuk proyek selanjutnya. Sepertinay Bank Dunia sebagai sumber mata air pinjaman yang tidak pernah kering. Bila pemerintahnya merupalkan rezim yang korup, pinjaman yang terus-menerus itu merupakan sumber korupsi bagi mereka, sedangkan bagi Bank Dunia hal ini berarti keterjaminan bahwa merekan akan memperoleh keuntungan lewat bunga pinjaman sebagai keterjaminan sumber pendapatan mereka.
Bank Dunia sangat memiliki kepentingan tehadap pembangunan Indonesia kerana Indonesia adalah klien yang baik yang selalu membayar pinjaman dan bunganya tepat waktu, sehingga bagi Bank Dunia meminjamkan dana kepada Indonesia merupakan hal yang menguntungkan. Perlu diketahui bahwa kriteria perhitungan kelayakan proyek bagi Bnak dunia adalah Economics Rate of Return (ERR), tanpa memperhitungkan aspek distributf dan proyek tersebut. Dengan kondisi demikian, sulit untuk mengharapkan bahwa Bank dunia akan mengkritik atau menghentikan di tengah jalan proyeknya sendiri dijalankan oleh pemerintah Indonesia, meskipun proyek itu dalam prosesnya menyebabkan kerugian yang harus ditanggung oleh masyarakat banyak, seperti proyek pembangunan Bendungan Kedung Ombo.
Sikap Bank Dunia, seperti digambarakan diatas, pada akhirnya cenderung memberikan korupsi atau kebocoran yang terjadi pada proyek-proyek. Bahkan, Bank Dunia sebelum korupsi banyak dipermasalahkan beranggapan bahwa korupsi bagi minyak pelumas bagi bisnis dan tanpa korupsi tidak akan ada transaksi dan itu berarti tidak ada pertumbuhan. Korupsi adalah minyak pelumas mesin birokrasi jika korupsi dihilangkan, maka birokrasi tidak bekerja. Laporan Bank Dunia sendiri pada bulan Oktober 1997 memperkirakan bahwa sekitar 20 persen sampai 30 persen pinjaman untuk Indonesia telah digelapkan oleh beberapa pejabat dan politisi pemerintah. Keprihatinan terus meluas karena, walaupun era Orde Baru telah berakhir, praktik penggelapan dana ini masih terus berlangsung. Bahkan, menurut laporan terakhir Bank Dunia pada tanggal 17 Desember 1998, sebagian dana gelap itu dicurigai digunakan untuk mempengaruhi jalannya pemilihan umum pertama pada era sesudah kejatuhan Soeharto yang akan dilaksanakan pada bulan juni 1999.
Selain Bank Dunia, lembaga multilateral yang turut sertta mempercepat akumulasi utang Indonesia adalah IMF, terutama dua tahun terakhir setelah krisis ekonomi berlangsung. IMF diundang masuk ke Indonesia dalam upaya membantu kesulitan finansial pemerintah dan juga membantumembuat program pemuliuhan ekonomi. namun demikian, peran IMF dalam mengatasi krisis ekonomi tersebut tidak lepas dari kepentingan IMF sendiri sebgai lembaga multilateral dan kepentingan negara-negara pemegang saham terbesar (negara maju). Tetapi yang salah dalam upaya pemulihan ekonomi mengakibatkan krisis yang semakin dalam dan pada akhirnya memerlukan dana (utang baru) sehingga akumulasi yang bertambah besar.
Akibatnya, pemerintah harus mengeluarkan obligasi untuk merekapitalisasi bank-bank tersebut dan bunganya ditanggung oleh APBN. Hal ini belum lagi ditambah permasalahan pengembalian aset-aset yang dijaminkan atas pemberian BLBI tersebut. Kesalahan lain adalah pengaitan masalah politik dalam pencairan pinjaman. Walaupun pinjaman yang diberikan IMF tidak signifikan mempengaruhi cash flow keuangan pemerintah. Namun, dampak psikologis membuat ketidakpastian semakin tinggi yang pada akhirnya memperlambat pemulihan ekonomi itu sendiri.
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut